Salah Satu Tahun Paling Suram, Hampir 200 Orang Rohingya Hilang di Laut pada 2022



KONTAN.CO.ID - JENEWA. Tahun 2022 menjadi salah satu tahun paling suram dalam perjalanan para pengungsi Rohingya. Sebanyak 180 orang diperkirakan hilang di lautan ketika berjuang mencari tempat perlindungan.

Angka tersebut disampaikan oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) cabang Asia Pasifik lewat Twitter pada hari Sabtu (24/12). 

"UNHCR telah menerima laporan yang belum dikonfirmasi tentang kapal terpisah, dengan 180 orang Rohingya, hilang di laut. Kerabat kehilangan kontak. Mereka yang terakhir berhubungan menganggap semuanya sudah mati," tulis UNHCR.


Laporan tersebut mengacu pada hilangnya sebuah kapal yang berlayar pada akhir November. UNHCR mengatakan kapal itu mungkin mulai rusak pada awal Desember sebelum kehilangan kontak. 

Baca Juga: Malaysia Dinilai Melanggar Hukum Internasional Setelah Deportasi Pengungsi Myanmar

Dalam cuitannya, UNHCR menyebut ada tiga pria Rohingya yang mengatakan kapal itu berangkat dari Bangladesh.

Juru bicara UNHCR, Babar Baloch, mengatakan 2022 adalah adalah salah satu tahun terburuk dalam hal jumlah orang hilang dan tewas setelah 2013 dan 2014.

"Tahun 2022 adalah salah satu tahun terburuk setelah 2013 dan 2014, ketika 900 dan 700 Rohingya meninggal atau hilang di Laut Andaman dan Teluk Benggala," kata Baloch.

Dilansir dari Reuters, hampir 1 juta penduduk Rohingya dari Myanmar tinggal di fasilitas yang penuh sesak di Bangladesh. Termasuk di antaranya adalah puluhan ribu orang yang melarikan diri tindakan keras militer Myanmar tahun 2017.

Baca Juga: Kapal Berisi Lebih dari 100 Pengungsi Rohingya Berlabuh di Aceh, Indonesia

Menurut perkiraan sejumlah kelompok hak asasi manusia, jumlah orang Rohingya yang meninggalkan Bangladesh dengan kapal tahun ini telah melonjak lebih dari lima kali lipat dari tahun sebelumnya menjadi hampir 2.400.

Sejauh ini negara-negara Asia Tenggara masih jadi destinasi favorit, terutama Malaysia dan Indonesia yang sangat terbuka kepada masyarakat muslim.

Pelonggaran perbatasan pasca menurunnya angka Covid-19 juga diprediksi membuat banyak Rohingya semakin yakin untuk masuk ke negara-negara tersebut.

Di negara asalnya yang mayoritas beragama Budha, sebagian besar Rohingya ditolak kewarganegaraannya dan dipandang sebagai imigran ilegal dari Asia Selatan.