Rapat Paripurna DPR yang pertama untuk mengetok palu aturan main pesta demokrasi 2009 itu terjadi pada Selasa (26/2). Upaya ini gagal lantaran anggota Panitia Khusus RUU Pemilu ini masih belum menyepakati dua perkara. Kedua materi tersebut adalah perhitungan limpahan sisa suara (
stembus accord) dan penentuan calon terpilih.
Wakil rakyat itu berselisih apakah sisa suara itu lari ke provinsi atau habis dibagi pada daerah pemilihan (dapil). Buat partai politik (parpol), memungut ceceran suara ini penting untuk menambah jatah kursi dewan.
Ada parpol yang ingin
stembus accord cukup berlangsung di dapil dan tak perlu dikumpulkan per provinsi. Tentu ini terkait prediksi perolehan suara mereka pada pemilu nanti berdasar hasil pemilu sebelumnya.
Sedangkan gontok-gontokan berikutnya yaitu landasan nomor urut atau suara terbanyak dalam penentuan calon legislatif (caleg) yang melaju ke Senayan bila tak hanya satu orang yang meraih suara lebih dari 30%. Penentuan ini menjadi masalah karena seringkali nomor urut atas itu berisi para pejabat teras suatu parpol. Mereka mau taruh muka di mana bila bos parpol kalah suara dengan caleg di bawahnya.
Inilah mengapa forum lobi pimpinan dewan dan fraksi tak juga menghasilkan kata sepakat. Supaya tidak terus berlarut-larut, pimpinan DPR memutuskan gelaran sidang paripurna dua hari kemudian.
Toh, masalah ini tetap menjadi onak yang membuat para koboi Senayan bangkit dari pelana dan menginterupsi rapat. Lihat saja kengototan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang ingin penggabungan sisa suara terjadi di tingkat provinsi. Sementara Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) tak kalah
ngeyel meminta pembagian sisa suara ini habis di daerah pemilihan. Kita ingat betul walau meraih suara lebih sedikit pada Pemilu 2004, PAN bisa menduduki jumlah kursi parlemen yang sama dengan PKB.
Drama paripurna Kamis itu berakhir lewat ketukan palu Ketua DPR Agung Laksono, sekitar pukul 21.20. Hasilnya, sidang paripurna kembali kena
delay hingga Senin (3/3). Agendanya adalah voting alias pemungutan suara untuk memutuskan dua materi yang paling krusial tersebut.
Sebenarnya, selain dua materi alot di atas, ada empat materi lain yang membuat Pansus RUU Pemilu menyerah. Forum lobi tingkat pimpinan lah yang akhirnya menyelesaikan masalah ini. Materi tersebut adalah alokasi kursi setiap daerah pemilihan sebanyak 3-10 kursi, jumlah kursi DPR sebanyak 560 kursi, ambang Batas suara;
electoral threshold (ET) 3% dan
parliamentary threshold (PT) 2,5%. Materi lainnya yang disepakati adalah cara memberikan suara dengan memberi tanda sebanyak satu kali, bisa di salah satu gambar, yakni di logo parpol maupun pada nama calon legislatif.
Pada pemilu ini filter parpol tak hanya ET tapi juga PT (batas minimal perolehan kursi di DPR). Dulu, parpol bisa tereliminasi dari hajatan pemilu bila gagal meraih suara di atas 3%. Untuk Pemilu 2009, batas itu tetap dan ada tambahan syarat agar parpol bisa berlaga pada pemilu berikutnya. Setiap parpol mempunyai wakil di DPR minimal 2,5% dari kursi.
Anehnya, penambahan syarat ini membuat enam parpol pemilik kursi di DPR yang seharusnya tidak bisa mengikuti pemilu 2009 bisa melenggang dengan riang. Keenam parpol tersebut adalah Partai Bulan Bintang, Partai Bintang Reformasi, Partai Damai Sejahtera, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Bintang Pelopor Demokrasi, dan PNI Marhaen. Seharusnya parpol-parpol ini mesti bubar dan bila ingin mengikuti pemilu kudu mengikuti proses layaknya parpol baru di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham).
Kompromi ini tentu membuat gerah parpol baru. Selain juga parpol-parpol lama yang meraih suara tapi tak cukup untuk mendapatkan satu kursi DPR. "Saya heran sekali dengan justifikasi DPR yang membolehkan parpol dengan satu kursi DPR bisa langsung ikut pemilu tanpa verifikasi dari Depkumham," kata Eros Djarot, Ketua Umum Partai Nasional Banteng Kemerdekaan.
Sementara pada saat yang sama, parpol baru sudah berdarah-darah untuk lolos verifikasi di Depkumham untuk mendapatkan status badan hukum. Belum lagi, verifikasi di tingkat Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk lolos ikut Pemilu 2009.
Banyak kalangan menilai, hal ini merupakan bagian dari politik dagang sapi antara parpol besar dan parpol kecil di parlemen dalam pembahasan RUU Pemilu. Beleid ini juga dianggap hanya untuk memuaskan kepentingan sesaat parpol-parpol di parlemen, dan mengabaikan kepentingan kolektif bangsa dan negara.
Pengamat Politik dari LIPISyamsuddin Haris mencontohkan, nuansa kepentingan jangka pendek parpol-parpol di DPR terlihat pada empat materi lobi yang sudah disetujui dan dua materi lagi yang masih menggantung. Dia menyitir ungkapan proklamator Bung Hatta pada 1960-an. Bung Hatta mengingatkan, jangan sampai parpol jadi tujuan dan negara menjadi alat. "Saya khawatir semuanya demi memuaskan kepentingan parpol. Maka yang jadi korban adalah bangsa dan negara kita," kata Syamsuddin.
Lebih lucu lagi, sempat menguatnya wacana untuk menghapus larangan mantan narapidana yang diancam hukuman lima tahun untuk menjadi calon legislatif. Masak untuk memilih 560 anggota DPR dari 225 juta rakyat Indonesia saja sampai perlu menyertakan mantan narapidana segala.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Test Test