KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kedigdayaan mata uang dollar Amerika Serikat (AS) makin terasa. Nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) naik ketika bank sentral AS Federal Reserve mulai menaikkan suku bunga acuan. Suku bunga yang tinggi menyebabkan investasi di AS menjadi lebih menarik. Kenaikan suku bunga ini sebenarnya adalah normalisasi kebijakan sebelumnya. AS memiliki bunga hampir nol persen setelah krisis ekonomi tahun 2008. Bank sentral menurunkan suku bunga untuk menggerakkan ekonomi dan memaksa likuiditas mengalir. Setelah bank sentral menganggap ekonomi Paman Sam mulai membaik, suku bunga mulai naik. Kenaikan suku bunga makin agresif terjadi sejak tahun lalu. Tahun ini, kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sudah dua kali. Gubernur The Fed Jerome Powell mengirim sinyal akan menaikkan suku bunga hingga dua kali lagi, setelah kenaikan di bulan Maret dan Juni lalu.
Data terbaru yang dirilis kemarin menunjukkan pertumbuhan ekonomi AS di kuartal kedua mencapai 4,1% secara kuartalan. Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang makin kencang, bank sentral AS akan perlu mengerek bunga agar ekonomi tidak
overheating. Belakangan, nilai tukar dollar AS semakin kuat seiring sentimen negatif berupa perang dagang. Perang yang diawali rencana proteksionisme AS ini makin gencar, terutama menghadapi China yang mencatat surplus perdagangan besar terhadap AS. Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif impor atas baja dan aluminium pada awal tahun. Aksi ini diikuti berbagai rencana pengenaan tarif impor untuk mendorong produksi dalam negeri dan memperbaiki neraca perdagangan. Perang dagang yang muncul sejak awal tahun ini menimbulkan perang mata uang. Banyak negara memilih mata uang yang lebih lemah agar nilai ekspor tetap tinggi di tengah penurunan volume. Hal inilah yang memicu komentar Presiden AS Donald Trump soal pelemahan mata uang yuan dan euro. Menurut pengamat pasar, penguatan dollar AS yang terjadi belakangan merupakan sinyal pengalihan aset dari
emerging market yang berisiko ke aset aman. Aset yang dianggap paling aman sejauh ini adalah dollar AS. Emas sebagai
safe haven lain sudah nyaris ditinggalkan. Ini tampak dari harga emas yang terus menurun. Sementara yen pun tertekan suku bunga yang tak kunjung naik. Investasi di Jepang tidak menghasilkan yield setinggi keinginan investor. Sementara AS menawarkan suku bunga yang makin tinggi. Inilah salah satu hal yang memicu investasi dollar yang makin tinggi. Jumat (27/7) pukul 18.01 WIB, indeks dollar berada di angka 94,91. Indeks yang mencerminkan nilai tukar dollar AS terhadap mata uang utama dunia, seperti euro, yen, dan poundsterling ini bergerak makin tinggi sejak awal tahun. Penguatan dollar AS semakin terasa di Asia. Hampir seluruh mata uang negara Asia melemah terhadap dollar AS. Sejak awal tahun hingga Jumat, hanya mata uang yen yang masih menguat 1,34% terhadap dollar AS. India, Filipina, dan Indonesia menjadi tiga negara Asia dengan pelemahan mata uang terbesar. Nilai tukar rupee terhadap dollar AS melemah 7,07% sejak awal tahun. Pelemahan peso Filipina mencapai 6,53% pada periode yang sama. Sedangkan rupiah sudah melemah 5,98% secara
year to date. Nilai tukar rupiah Jumat ditutup pada Rp 14.417 per dollar AS. Kurs rupiah terhadap dollar AS ini menguat dalam tiga hari berturut-turut setelah menyentuh level terendah sejak Oktober 2015. Rupiah menembus Rp 14.500 per dollar AS pada Selasa pekan ini. Dari seluruh mata uang kawasan Asia, ada beberapa mata uang yang makin melemah dalam tiga bulan terakhir. Terutama mata uang yuan, baik
offshore maupun
onshore. Nilai tukar yuan tercatat melemah 4,87% jika dihitung sejak awal tahun. Tapi, pelemahan yuan mencapai 7,72% dalam tiga bulan terakhir. Pada periode ini, yuan mencatat pelemahan paling dalam di Asia, diikuti oleh baht Thailand 5,87% dan won Korea 3,7%. Kepala Ekonom Maybank Indonesia Juniman menjelaskan, pelemahan rupiah dipicu oleh melemahnya mata uang yuan China. “Melemahnya yuan membuat mata uang
emerging market ikut terseret. Jadi tidak hanya rupiah, tapi juga mata uang lainnya kompak melemah,” ujar Juniman beberapa waktu lalu. Pelemahan yuan, tambah Juniman, tak lepas dari konflik dagang China dengan AS yang masih bergulir sampai saat ini. Menurutnya, ada unsur kesengajaan di balik melemahnya yuan sebagai bentuk pembalasan tarif impor yang dikenakan AS pada barang-barang China tersebut. "Pemerintah dan BI harus mulai mencermati kondisi ini karena
trade war berpotensi menjadi
currency war, alias negara-negara berlomba melemahkan mata uangnya. Kondisi ini bisa membuat rupiah semakin terpuruk," kata Juniman. Ekonom BCA David Sumual juga berpendapat, arah pergerakan rupiah ke depan akan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar eskalasi perang dagang, terutama reaksi China terhadap perilaku-perilaku AS. "Ingat, China punya cadangan devisa yang besar sehingga mudah bagi mereka mengontrol nilai mata uangnya," ujar David. Pelemahan mata uang menjadi salah satu penyebab krisis finansial Asia di tahun 1997 lalu. Ketika itu, dollar AS juga menguat setelah pulih dari krisis di awal 1990-an. Apakah kondisi saat ini bisa memicu krisis finansial Asia lagi? Lana Soelistianingsih, Ekonom Universitas Indonesia mengatakan, gejala-gejala krisis 20 tahun lalu berbeda dengan kondisi saat ini.
Pertama, dulu utang luar negeri swasta tidak tercatat. Korporasi pun tidak banyak memiliki
hedging alias lindung nilai atas pergerakan nilai tukar. Ketika nilai tukar melemah dan mendekati waktu jatuh tempo utang, maka korporasi dan swasta akan tergopoh-gopoh masuk pasar spot untuk membeli dollar. Hal ini berbeda dengan kondisi sekarang. Utang luar negeri pemerintah dan swasta tercatat dengan baik. Perusahaan-perusahaan yang memiliki paparan utang dalam mata uang asing pun memiliki lindung nilai yang menjadi bantalan atas fluktuasi nilai tukar. “Nilai transaksi
hedging saat ini pun sudah besar, mendekati US$ 500 juta dari sebelumnya hanya US$ 100 juta,” kata Lana, Jumat(27/7).
Kedua, struktur ekonomi saat ini sudah berubah. Konglomerasi sudah tidak terpusat, terutama di dekat pemerintahan seperti sekitar 1997. “Konglomerasi sekarang ini sudah cenderung tersebar,” imbuh Lana. Faktor lain adalah saat ini nilai tukar rupiah mendekati nilai yang sebenarnya. Ini jauh berbeda dengan kondisi 20 tahun lalu ketika nilai tukar rupiah berada di level terkendali. “Kalau dilihat dari gejala, sih, enggak. Tapi krisis adalah sesuatu yang tidak diduga,” ujar Lana. Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro dalam riset yang dikutip Kontan.co.id, Rabu (25/7) mengungkapkan, tantangan di negara berkembang adalah perang perdagangan AS-China yang akan mempengaruhi pertumbuhan negara-negara berkembang, mempengaruhi harga komoditas, dan pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. “Kebijakan Federal Reserve untuk
benchmark mereka, prospek kebijakan moneter G3 yang akan berpengaruh ke negara berkembang, dan potensi efek tumpahan dari ekonomi Turki dan Venezuela,” tulis Andry. Tantangan Indonesia Selain perang dagang, ada pula tantangan dari segi domestik yakni melebarnya defisit transaksi berjalan atau
current account deficit (CAD), kebijakan BI yang
front loading, harga komoditas yang flat atau naiknya terbatas. Ekonomi Indonesia juga akan terpengaruh oleh faktor politik dan konsumsi rumah tangga yang saling berkorelasi. Juniman melihat, sentimen The Fed yang selama ini menjadi fokus BI dalam mengambil kebijakan sejatinya sudah tidak begitu kuat. "Sejak Juni, saya pikir pasar sudah
priced-in dengan potensi The Fed menaikkan suku bunga sebanyak empat kali dalam tahun ini," imbuhnya. Untuk itu, Juniman berharap, pemerintah bisa lebih fokus menyelesaikan pekerjaan rumah untuk memperbaiki kondisi defisit transaksi berjalan. Kendati neraca dagang sepanjang Juni lalu surplus, ia melihat data tersebut belum menunjukkan kondisi yang sebenarnya. Lana mengatakan, selain faktor sentimen global berupa perang dagang, ada faktor
supply dan
demand yang mempengaruhi pelemahan rupiah. Perang dagang kembali terlibat dari sisi demand. Permintaan dollar ini terutama berasal dari investor asing yang ada di pasar saham dan obligasi. Investor asing di saham dan obligasi bisa keluar karena ketidakpastian global. Dana panas di pasar obligasi dan saham ini memang terus tertekan. Bursa Efek Indonesia mencatat, asing sempat mencatatkan penjualan bersih sekitar Rp 50 triliun sejak awal tahun. Saham merefleksikan kinerja perusahaan. Sementara dengan ekonomi tumbuh 5%, kinerja emiten belum terlihat. “Faktor fundamental ini yang diperhatikan oleh investor. Kalau dilihat, kita masih relatif belum terlalu murah untuk investor asing,” kata Lana. Permintaan dollar AS yang besar juga disebabkan oleh kenaikan harga minyak. Harga minyak terus melaju. Permintaan dollar, terutama akan datang dari Pertamina dan PLN yang terkait dengan harga komoditas energi. Memasok dollar Dari sisi suplai, salah satu cara memasok dollar adalah dengan mendatangkan investor asing. Bank Indonesia (BI) telah membuka jalan dengan kenaikan suku bunga secara agresif pada bulan Mei-Juni. Kenaikan suku bunga acuan sebesar 100 basis point ini diharapkan bisa menarik minat investor asing menaruh dollar di Indonesia. Tapi, masuknya dollar AS pun belum tentu langsung tampak pada cadangan devisa. Asing yang masuk ke Indonesia bisa menukarkan dollar ke rupiah di bank. Tapi, bank bisa menahan dollar untuk kebutuhan transaksional. Hal ini bisa menyebabkan masuknya asing tak tampak pada cadangan devisa. Bank Indonesia pun menggelar lagi lelang SBI bertenor 9 bulan dan 12 bulan. SBI ini dihidupkan kembali untuk menarik investasi asing jangka pendek. Kenapa jangka pendek? Pada kondisi penuh ketidakpastian pasar global, investor cenderung menginginkan instrumen yang mudah dilepas ketika kondisi memanas. Maka surat utang jangka pendek terus diburu. BI juga menambah frekuensi lelang
foreign exchange swap menjadi tiga kali dalam sepekan. Tapi, BI mencatat, sepanjang Juli 2018 swap kepada BI oleh korporasi baru mencapai US$ 250 juta, semuanya untuk tenor satu bulan. Cara lain adalah lelang SBI valas. “Lelang SBI valas bisa menjadi cara BI untuk menambah devisa,” kata Lana. Memang belum tentu bank akan tertarik masuk instrumen ini. Salah satu strategi agar bank masuk ke SBI valas adalah dengan menawarkan tenor pendek, misalnya tujuh hari. Dengan tenor pendek, bank akan tetap bisa mempertahankan likuiditas mata uang asing. Apa saja kebijakan pemerintah untuk menahan pelemahan rupiah lebih lanjut? Tak hanya BI yang berupaya mengangkat nilai rupiah. Pemerintah merilis berbagai kebijakan untuk menopang kurs mata uang Garuda. "Problem utama pelemahan rupiah itu kan
supply dan
demand dollar yang tidak imbang. Urusan sentimen global, BI sudah antisipasi dengan suku bunga. Sekarang, urusan struktural ekspor impor jadi bagian pemerintah," ujar Juniman. Ia menilai, penguatan rupiah yang cepat dan signifikan serta terjaga stabil dalam jangka pkanjang hanya dapat terjadi jika CAD bisa kembali surplus. Kendati demikian, setidaknya hingga akhir kuartal ketiga, ia memproyeksi rupiah masih akan dirundung berbagai tekanan eksternal sehingga sulit pulih. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, BI dan pemerintah masing-masing sudah mengambil kebijakan sendiri. “BI mengambil langkah, pemerintah ngambil, seperti kebijakan biodiesel,” kata dia. Pekan lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan untuk mempercepat pelaksanaan mandatori biodiesel. Darmin mengatakan, implementasi kebijakan ini secara penuh bisa menghemat devisa yang digunakan untuk mengimpor solar hingga US$ 5,5 miliar per tahun, dengan mengacu pada kebutuhan impor solar saat ini yang mencapai US$ 21 juta per hari. “Kalau sudah
full B20 (pemakaian biodiesel sebesar 20%), dalam waktu yang tidak akan lama, beberapa bulan lagi bisa menghemat US$ 5,5 miliar,” ujar Darmin. Presiden Joko Widodo pun meminta pengusaha untuk menarik devisa hasil ekspor ke dalam negeri. Menurut catatan BI, hanya 15%-25% devisa hasil ekspor yang dikonversi ke rupiah. Padahal, lebih dari 90% devisa hasil ekspor sudah masuk ke Indonesia. Pemerintah tidak mengeluarkan aturan baru untuk devisa hasil ekspor ini. Tapi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah bersama BI akan memperkuat penegakan hukum atas kewajiban laporan valas hasil ekspor yang direpatriasi. Paling baru, Jumat (27/7), pemerintah menyiapkan aturan untuk menghapus kewajiban memasok batubara dalam negeri alias
domestic market obligation (DMO) batubara. Kebijakan ini diambil untuk memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan. Sebagai gantinya, pemerintah akan memungut dana US$ 2-US$ 3 per ton ke para pengusaha batubara. Pencabutan DMO ini diyakini bisa mendatangkan devisa hingga US$ 5 miliar dalam setahun. “Berdampak baik terhadap CAD kita. Jadi nanti kalau diperbaiki biodisel juga digunakan PSO dan non PSO, kita juga akan dapat US$ 15 miliar. Jadi, CAD tidak defisit dan rupiah stabil,” kata Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, kemarin. Ke mana arah rupiah? Setelah berbagai upaya otoritas, ke mana arah rupiah selanjutnya? "Pasar menanti tanggal 10 Agustus, di mana calon presiden dan wakilnya yang akan maju dalam Pemilu ditentukan. Sampai saat itu, investor akan cenderung memilih memegang dollar AS ketimbang rupiah yang berisiko," ujar Juniman. Kedua, ketidakpastian yang besar juga datang dari perang dagang yang masih bergulir, terutama antara AS dan China. Tekanan akan kian menguat jelang pertemuan pejabat The Fed atau FOMC meeting pada September. "Tekanan bukan dari ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga tahun ini, tapi dari penantian pasar terhadap proyeksi kebijakan The Fed di tahun 2019," kata Juniman. Melihat paduan sentimen tersebut, Juniman memproyeksi rupiah masih akan bergerak melemah dalam rentang Rp 14.200-Rp 14.700 per dollar AS.
Head of Economic & Research UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja, memprediksi di akhir kuartal III-2018 rupiah akan berada pada level Rp 14.600 per dollar AS. Faktor yang menurutnya akan paling berpengaruh pada rupiah antara lain pengetatan moneter AS dan konflik perang dagang yang menjadi-jadi. "Dalam kondisi seperti ini, level (rupiah) berapapun bisa terjadi. Pemerintah dan BI harus lebih cermat melihat
trigger dan dampak pelemahan rupiah supaya langkah intervensi yang dilakukan tepat. Kalau tidak, hanya akan jadi seperti menabur garam di air laut," kata Enrico, Jumat (20/7). Untuk akhir tahun, Enrico bahkan telah merevisi target nilai tukar rupiah dari sebelumnya Rp 14.000 menjadi Rp 14.700 per dollar AS. Ia memproyeksi, pengetatan moneter AS masih akan menjadi pemicu utama pelemahan rupiah, bahkan hingga pertengahan tahun depan. Juniman lebih optimistis melihat posisi rupiah di akhir tahun. Ia memperkirakan, rupiah bisa kembali menguat pasca berakhirnya hajatan The Fed di tahun ini, serta ketidakpastian politik dalam negeri cenderung mereda. "Akhir tahun, harusnya rupiah bisa kembali menguat ke level Rp 13.700 hingga Rp 14.000 per dollar AS," imbuh Juniman. Juniman juga berharap, penguatan rupiah di akhir tahun juga bisa disorong oleh neraca dagang yang terjaga surplus. Sebab, kebijakan menaikkan suku bunga pada akhirnya hanya bersifat temporer dan berpotensi memberatkan laju pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Lana menambahkan, faktor eksternal masih menjadi penentu arah rupiah selanjutnya. “Ada potensi bunga naik kalau sentimen luar negeri masih ada. The Fed masih dua kali lagi menaikkan suku bunga. Kita tidak bisa menghindari hal ini, kata Lana.
Lana memperkirakan, di angka optimistis, rupiah bisa menguat ke Rp 14.300 per dollar AS pada akhir tahun dengan batas atas antara Rp 14.600-Rp 14.700 per dollar AS. Darmin menyatakan bahwa pelemahan rupiah tampaknya masih akan berlanjut. Hal ini disebabkan oleh normalisasi kebijakan moneter The Fed. “Saya sering ditanya rupiah melemah lagi. Memang belum berhenti proses masih berjalan,” kata Darmin, Selasa (24/7). “Tahun ini saja rencananya The Fed akan menaikkan tingkat bunga dua kali lagi. Ya, mesti naik lagi. Tingkat bunga dia. Bank sentral kita juga pasti akan naikkan tingkat bunga,” lanjutnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati