KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun Rancangan Peraturan OJK (POJK) baru tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI). Melihat ini baik dari pemain maupun asosiasi menyambut baik RPOJK tersebut. Berdasarkan riset
Kontan.co.id, beberapa poin penting yang terdapat dalam RPOJK LPBBTI tersebut di antaranya pada Pasal 4 disebutkan bahwa Penyelenggara harus memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp 25 miliar pada saat pendirian. Aturan modal disetor tersebut masih sama jumlahnya dengan POJK Nomor 10 tahun 2022 tentang LPBBTI yang masih berlaku saat ini.
Baca Juga: OJK Keluarkan Draft RPOJK LPBBTI, Ini Poin-Poin Pentingnya Berikutnya pada Pasal 6, setiap pihak dilarang menjadi Pemegang Saham Pengendali (PSP) pada lebih dari satu penyelenggara konvensional atau satu penyelenggara berdasarkan prinsip syariah. Larangan menjadi PSP lebih dari satu penyelenggara konvensional atau penyelenggara dengan prinsip syariah misalnya, A merupakan PSP pada PT X yang merupakan Penyelenggara konvensional. A tidak dapat menjadi PSP pada Penyelenggara konvensional lainnya. Pada prakteknya saat ini, penyelenggara mendapat pendanaan dari berbagai investor, di mana tentu ada kemungkinan memiliki pemegang saham yang sama. Kemudian, salah satu aturan yang berbeda dalam RPOJK LPBBTI adalah terkait Unit Usaha Syariah (UUS) yang tak disebutkan di dalam POJK LPBBTI Nomor 10 Tahun 2022 yang berlaku saat ini.
Baca Juga: Ini Point Penting Aturan Pinjaman Online yang Baru Pada Pasal 16 disebutkan bahwa Penyelenggara konvensional yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah wajib mendirikan Unit Usaha Syariah (UUS). Lanjutannya di Pasal 17, UUS harus memiliki modal kerja paling sedikit Rp 10 miliar pada saat pendirian. Berikutnya di Pasal 51, disebutkan bahwa batas maksimum pendanaan konsumtif kepada setiap penerima dana sebesar Rp 2 miliar, sementara untuk pendanaan produktif senilai Rp 5 miliar. Lebih lanjut, di Pasal 75 terkait Rasio Permodalan, diukur dengan cara penyelenggara wajib setiap saat memiliki ekuitas paling sedikit Rp 12,5 miliar. Ekuitas ini wajib dilakukan secara bertahap, paling sedikit Rp 7,5 miliar di 4 Juli 2024 dan Rp 12,5 miliar di 4 Juli 2025. Menanggapi hal ini, Group CEO Akeseleran, Ivan Nikolas Tambunan menyampaikan secara keseluruhan pihaknya menyambut baik RPOJK tersebut. Hanya saja ada satu hal yang menjadi concern pihaknya. “Untuk batas maksimal pendanaan produktif kami mau minta dinaikkan jadi Rp 10 miliar, jangan di Rp 5 miliar. Karena kebutuhan usaha menengah itu di level Rp 10 miliaran,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (14/11). Ivan mengungkapkan terkait modal disetor yang dipersyaratkan, pihaknya tidak keberatan akan hal itu, sebab saat ini besaran modal disetor Akseleran sudah hampir mencapai Rp 100 miliar.
Baca Juga: Roadmap Pinjol Akan Membuat Fintech Lending Lebih Bermanfaat Bagi Ekonomi “Tidak masalah ya, ini oke supaya perusahaan itu sehat keuangannya,” ungkapnya.
Soal adanya kewajiban pemegang saham pengendali (PSP) hanya untuk satu penyelenggara, menurut Ivan pemegang saham bisa saja sama, tetapi PSP-nya yang tidak boleh sama. Dia bilang, ini juga tidak menjadi masalah bagi perusahaan. Sementara itu, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyatakan bahwa mendukung setiap kebijakan yang hendak dilakukan regulator. “Tentunya asosiasi mendukung apa yang OJK ingin lakukan karena kami yakin semuanya untuk kebaikan industri dan kepentingan masyarakat luas sebagai pengguna,” ujar Marketing Communication AFPI, Andrisyah Tauladan kepada KONTAN. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto