JAKARTA. Awan gelap masih menaungi pasar reksadana saham. Dari Januari 2015 hingga Juli 2015, reksadana saham mencatat imbal hasil terendah. Berdasarkan Infovesta Utama, rata-rata kinerja jenis reksadana saham minus 11,59%. Imbal hasil tersebut lebih buruk ketimbang performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang minus 8,12% pada periode sama. Begitu pula dengan kinerja reksadana campuran yang minus 5,56%. Hanya reksadana pendapatan tetap dan reksadana pasar uang yang mencatat kinerja positif. Namun, imbal hasil kedua jenis reksadana tersebut masih minim.
Rata-rata kinerja jenis reksadana pendapatan tetap berkisar 1,53%. Sedangkan reksadana pasar uang mendulang imbal hasil tertinggi di level 3,63%. Dari daftar reksadana saham, kinerja produk Treasure Fund Super Maxxi milik PT Treasure Fund Investama paling tekor, yaitu minus 23,43%. Posisi kedua ditempati produk Indosurya Equity Fund milik PT Indosurya Asset Management yang memberikan return minus 21,67%. Lalu diikuti oleh kinerja produk Mandiri Investa Ekuitas Dinamis kelolaan PT Mandiri Manajemen Investasi alias Mandiri Investasi yang tercatat minus 21,24%. Menilik fund factsheet per Juni 2015, mayoritas dana kelolaan Mandiri Investa Ekuitas Dinamis diparkir pada efek saham, yakni 95,14%. Sisanya 4,86% di efek pasar uang. Mandiri Investasi memilih saham ASRI, AALI, ELSA, MIKA, serta PNLF. Analis Infovesta Utama, Vilia Wati menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyeret performa reksadana saham hingga lebih buruk ketimbang IHSG. Pertama, pergerakan reksadana saham memang lebih agresif ketimbang bursa. Sehingga, ketika IHSG terkoreksi, kinerja reksadana saham cenderung terlempar lebih dalam. Kedua, cukup dalamnya koreksi sektor saham seperti infrastruktur serta industri dasar dan kimia yang menempati bobot cukup besar dalam portofolio reksadana saham. Walhasil, return reksadana saham pun tertekan.
Ketiga, pelemahan harga obligasi akibat spekulasi kenaikan suku bunga acuan pada September atau Desember 2015 mendatang oleh Bank Sentral Amerika alias Federal Reserve. Lihat saja indeks obligasi pemerintah atawa Inter Dealer Market Association (IDMA) yang tergerus 3,68% ketimbang akhir tahun 2014. “Rilis data laporan keuangan emiten kuartal pertama kurang baik. Kebijakan kenaikan tarif impor barang konsumsi membayangi pasar modal domestik hingga akhir Juli 2015,” jelasnya. Ridwan Soetedja, Direktur PT Panin Asset Management menambahkan, menyusutnya return reksadana saham juga imbas dari perlambatan ekonomi Indonesia. Pada kuartal pertama 2015, pertumbuhan ekonomi Tanah Air tercatat 4,7%. Para analis memprediksi perlambatan ekonomi juga terjadi di kuartal kedua. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto