Sisa karpet karet yang tidak lagi dipakai masih punya manfaat. Darni menggunakannya sebagai bahan sandal rumahan. Dihiasi dua kepang beraneka warna dan bunga di puncak kepang, sandal bikinan Darni menggugah. Pertama kali dijual di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, sandal bikinan Darni sudah melayang hingga ke Kalimantan.Dagang sepatu di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan menjadi aktivitas harian Darni dan Khairul Asri, suaminya. Aktivitas itu berubah saat mereka kedatangan kawan adik Darni yang membawa sisa karpet karet dari sebuah pabrik di tahun 2006. Warna-warna mencolok mata dari sisa karpet karet itu segera membuat Darni jatuh hati. Di kepalanya, terbersit ide untuk menjadikan sisa karpet karet itu sebagai bahan pembuatan sandal. Ia kemudian mencoba-coba membuat pola sandal di atas limbah karpet itu.Perempuan berusia 39 tahun itu juga lantas membuat kepang-kepang mungil dari bahan sisa karpet karet itu di atas pola sandal. Hasilnya yang manis dipandang membersitkan keyakinan Darni bahwa sandal ini layak jual. Ia pun berniat serius menekuni usaha pembuatan sandal kepang ini.Saat memulai usaha, Darni hanya mengeluarkan modal usaha Rp 100.000. Dana ini dipakai untuk membeli bahan-bahan sandal. Rinciannya: Rp 2.000 untuk membeli sisa karpet karet sebanyak 2 kilogram (kg), spons hitam Rp 45.000, lem kecil Rp 15.000 serta pisau cutter.Dari situ, ia mampu membuat dua kodi atau empat puluh sandal kepang. Oleh Darni, sandal-sandal kepang itu lantas dibawanya ke Pasar Tanah Abang. Tak lupa, di sandal itu, Darni menyelipkan kertas kecil bertuliskan merek sandal kepang, yakni Sandal Spon Wea. Wea diambil dari huruf pertama ketiga anaknya, yaitu Wahid, Erik, dan Ando "Saya gigih muter jualan sandal ini ke Tanah Abang. Untung sandalnya enteng," ujarnya diselingi tawa renyah.Setelah berputar dari toko ke toko, beberapa orang tertarik membeli sandal Wea. Bahkan setelah beberapa hari menjajakan sandal di pasar, Darni mendapatkan pesanan untuk pertama kalinya.Darni bilang, sisa karpet karet diambilnya dari pemasok di Jakarta. Mereka adalah produsen karpet karet untuk daerah-daerah di luar Jakarta. "Mereka biasanya menggunting sesuai ukuran pemesan," ujarnya. Biasanya, karpet sisa guntingan ini dibuang begitu saja oleh mereka. Bahan buangan inilah yang kemudian diolah Darni untuk membuat kepangan. Saat memulai usaha lima tahun yang lalu, harga sisa karpet karet ini cuma Rp 2.000 per kg. "Sekarang, harganya sudah naik tiga kali lipat," ujarnya. Sudah begitu, pasokannya berkurang. Pasokan sisa karpet mulai seret sejak tahun 2010. Darni kesulitan memperolehnya karena supplier yang jadi langganannya sudah tak fokus lagi menjual karpet karet. Ia lebih banyak melego tikar karena terjadi perubahan selera konsumen. Dampaknya, usaha sandal Wea juga tersendat. Pada bulan April lalu, Darni hanya mampu membuat 5 kodi sandal kepang. Bahan sandal, ia ambil dari simpanan stok limbah karpet karet yang masih dimilikinya.Kondisi ini berbeda jauh sebelum tahun 2010. Saat itu, ia bisa memasok hingga 50 kodi ke setiap pembeli dari Surabaya, Kalimantan, Palembang, dan Lampung. Pesanan terbanyak dari Aceh sampai 1.500 pasang. Saban bulan, ia membutuhkan 150 kg hingga 200 kg sisa karpet karet. "Dulu, saya bisa produksi sampai 100 pasang sandal kepang sehari. Sekarang, kalau ada pesanan saja," ujarnya masygul. Sandal spons Wea mengalami masa kejayaan tahun 2008. Ketika itu, Darni keluar-masuk pameran lewat undangan beberapa instansi. Ia juga sering diundang menjadi peserta bazar di kantor swasta dan pemerintah. Dari situlah pesanan mengalir deras. Malah, ia pernah mendapat pesanan lima kodi dari pembeli untuk dijual kembali di Kanada. Darni juga pernah menawarkan sandal kepangnya ke hotel-hotel di Jakarta. Tawaran yang murah membuatnya mundur. Oleh hotel, sepasang sandal kepang cuma dihargai Rp 2.000 hingga Rp 2.500 per pasang. "Itu jelas mencekik usaha kecil seperti saya," ujarnya. Padahal di pasar, Darni menjual dengan harga Rp 10.000 untuk ukuran kaki 34 hingga 36.Adapun ukuran 37 hingga 40 dijualnya dengan harga Rp 12.000 per pasang. Jika pemesan minta ukuran di atas 40, ia akan memasang harga Rp 15.000 per pasang. "Yang paling laku ukuran 37 dan 38," ujar Darni. Di tangan pembeli yang berstatus penjual di daerah luar Jakarta, sandal buatan Darni dijual Rp 25.000 per pasang. Darni menerapkan sistem pembayaran kontan. Uang sudah masuk rekening sebelum barang dikirim. "Saya menggunakan cara ini karena tidak mau kena risiko," ujarnya.Lantaran produksi menurun, Darni mengerjakan sendiri sandalnya di rumahnya di Cipulir. Padahal dulu, ia mempekerjakan sampai enam orang.
Sandal kepang dari bahan sisa karpet karet
Sisa karpet karet yang tidak lagi dipakai masih punya manfaat. Darni menggunakannya sebagai bahan sandal rumahan. Dihiasi dua kepang beraneka warna dan bunga di puncak kepang, sandal bikinan Darni menggugah. Pertama kali dijual di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, sandal bikinan Darni sudah melayang hingga ke Kalimantan.Dagang sepatu di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan menjadi aktivitas harian Darni dan Khairul Asri, suaminya. Aktivitas itu berubah saat mereka kedatangan kawan adik Darni yang membawa sisa karpet karet dari sebuah pabrik di tahun 2006. Warna-warna mencolok mata dari sisa karpet karet itu segera membuat Darni jatuh hati. Di kepalanya, terbersit ide untuk menjadikan sisa karpet karet itu sebagai bahan pembuatan sandal. Ia kemudian mencoba-coba membuat pola sandal di atas limbah karpet itu.Perempuan berusia 39 tahun itu juga lantas membuat kepang-kepang mungil dari bahan sisa karpet karet itu di atas pola sandal. Hasilnya yang manis dipandang membersitkan keyakinan Darni bahwa sandal ini layak jual. Ia pun berniat serius menekuni usaha pembuatan sandal kepang ini.Saat memulai usaha, Darni hanya mengeluarkan modal usaha Rp 100.000. Dana ini dipakai untuk membeli bahan-bahan sandal. Rinciannya: Rp 2.000 untuk membeli sisa karpet karet sebanyak 2 kilogram (kg), spons hitam Rp 45.000, lem kecil Rp 15.000 serta pisau cutter.Dari situ, ia mampu membuat dua kodi atau empat puluh sandal kepang. Oleh Darni, sandal-sandal kepang itu lantas dibawanya ke Pasar Tanah Abang. Tak lupa, di sandal itu, Darni menyelipkan kertas kecil bertuliskan merek sandal kepang, yakni Sandal Spon Wea. Wea diambil dari huruf pertama ketiga anaknya, yaitu Wahid, Erik, dan Ando "Saya gigih muter jualan sandal ini ke Tanah Abang. Untung sandalnya enteng," ujarnya diselingi tawa renyah.Setelah berputar dari toko ke toko, beberapa orang tertarik membeli sandal Wea. Bahkan setelah beberapa hari menjajakan sandal di pasar, Darni mendapatkan pesanan untuk pertama kalinya.Darni bilang, sisa karpet karet diambilnya dari pemasok di Jakarta. Mereka adalah produsen karpet karet untuk daerah-daerah di luar Jakarta. "Mereka biasanya menggunting sesuai ukuran pemesan," ujarnya. Biasanya, karpet sisa guntingan ini dibuang begitu saja oleh mereka. Bahan buangan inilah yang kemudian diolah Darni untuk membuat kepangan. Saat memulai usaha lima tahun yang lalu, harga sisa karpet karet ini cuma Rp 2.000 per kg. "Sekarang, harganya sudah naik tiga kali lipat," ujarnya. Sudah begitu, pasokannya berkurang. Pasokan sisa karpet mulai seret sejak tahun 2010. Darni kesulitan memperolehnya karena supplier yang jadi langganannya sudah tak fokus lagi menjual karpet karet. Ia lebih banyak melego tikar karena terjadi perubahan selera konsumen. Dampaknya, usaha sandal Wea juga tersendat. Pada bulan April lalu, Darni hanya mampu membuat 5 kodi sandal kepang. Bahan sandal, ia ambil dari simpanan stok limbah karpet karet yang masih dimilikinya.Kondisi ini berbeda jauh sebelum tahun 2010. Saat itu, ia bisa memasok hingga 50 kodi ke setiap pembeli dari Surabaya, Kalimantan, Palembang, dan Lampung. Pesanan terbanyak dari Aceh sampai 1.500 pasang. Saban bulan, ia membutuhkan 150 kg hingga 200 kg sisa karpet karet. "Dulu, saya bisa produksi sampai 100 pasang sandal kepang sehari. Sekarang, kalau ada pesanan saja," ujarnya masygul. Sandal spons Wea mengalami masa kejayaan tahun 2008. Ketika itu, Darni keluar-masuk pameran lewat undangan beberapa instansi. Ia juga sering diundang menjadi peserta bazar di kantor swasta dan pemerintah. Dari situlah pesanan mengalir deras. Malah, ia pernah mendapat pesanan lima kodi dari pembeli untuk dijual kembali di Kanada. Darni juga pernah menawarkan sandal kepangnya ke hotel-hotel di Jakarta. Tawaran yang murah membuatnya mundur. Oleh hotel, sepasang sandal kepang cuma dihargai Rp 2.000 hingga Rp 2.500 per pasang. "Itu jelas mencekik usaha kecil seperti saya," ujarnya. Padahal di pasar, Darni menjual dengan harga Rp 10.000 untuk ukuran kaki 34 hingga 36.Adapun ukuran 37 hingga 40 dijualnya dengan harga Rp 12.000 per pasang. Jika pemesan minta ukuran di atas 40, ia akan memasang harga Rp 15.000 per pasang. "Yang paling laku ukuran 37 dan 38," ujar Darni. Di tangan pembeli yang berstatus penjual di daerah luar Jakarta, sandal buatan Darni dijual Rp 25.000 per pasang. Darni menerapkan sistem pembayaran kontan. Uang sudah masuk rekening sebelum barang dikirim. "Saya menggunakan cara ini karena tidak mau kena risiko," ujarnya.Lantaran produksi menurun, Darni mengerjakan sendiri sandalnya di rumahnya di Cipulir. Padahal dulu, ia mempekerjakan sampai enam orang.