Sanggah Pernyataan Faisal Basri, Kemenko Marves Beberkan 6 Fakta Terkiat Hirilisasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) membeberkan fakta terkait serangan data dari Ekonom Senior Indef Faisal Basri yang menyebutkan bahwa hilirisasi nikel Indonesia hanya menguntungkan China saja.

Sebelumnya Faisal menyebut, data keuntungan hilirisasi yang disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) senilai Rp 510 triliun juga dianggap sebagai data yang salah alias 'menyesatkan'.

Selain itu, Faisal juga menilai penerimaan penerimaan negara termasuk pajak yang didapat pemerintah lebih kecil saat kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel diterapkan, juga kontribusi pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menurun akibat kebijakan tersebut.


Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto membeberkan enam fakta untuk merespon pernyataan dari Faisa Basri terkait keuntungan yang didapat pemerintah dari kebijakan hirilisasi nikel.

Pertama, terkait klaim Faisal Basri bahwa angka ekspor hilirisasi nikel tahun 2022 Rp 510 triliun yang disampaikan Presiden Jokowi salah karena menurut hitungan Faisal angkanya Rp 413,9 triliun.

Baca Juga: Hingga Akhir Juli 2023, Penerimaan Pajak Tembus Rp 1.109,1 Triliun

Seto menjelaskan, kesalahan utama Faisal Basri disini adalah tidak update terhadap perkembangan hilirisasi di Indonesia, sehingga dia hanya memasukkan angka ekspor besi dan baja senilai US$ 27,8 miliar atau Rp 413,9 triliun.

Padahal menurut Seto, hilirisasi nikel juga memproduksi bahan lithium baterai seperti nickel matte dan Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang tergabung dalam HS Code 75. Tahun 2022, nilai ekspor nickel matte dan MHP adalah US$ 3,8 miliar dan US$ 2,1 miliar. Selain itu masih ada beberapa turunan nikel di HS Code 73.

Jika angka ekspor semuanya di total maka angkanya adalah US$ 34,3 miliar atau Rp 510,1 triliun. Tepat sesuai yang Presiden Jokowi sampaikan.

Kedua, klaim Faisal Basri yang menyatakan bahwa negara menerima pendapatan negara yang kecil akibat pelarangan ekspor bijih nikel, karena para smelter tersebut mendapatkan tax holiday 20 tahun.

Seto mengatakan, dalam pernyataan Faisal Basri, tidak memahami ketentuan tax holiday di Indonesia sehingga mencapai kesimpulan yang salah.

Tax holiday 20 tahun diberikan dengan investasi sebesar Rp 30 triliun atau lebih. Jika kurang dari itu maka akan menyesuaikan periodenya, antara 5 hingga15 tahun. Insentif tax holiday ini hanya untuk PPh Badan, pajak-pajak lainnya tetap harus dibayar.

Berdasarkan data pemberian tax holiday tahun 2018-2020, rata-rata perusahaan smelter yang memperoleh tax holiday 7 hingga10 tahun. Hanya ada 2 yang memperoleh 20 tahun, yang mana saat ini hanya 1 yang beroperasi.

Menurut Seto, masih  banyak juga smelter yang tidak memperoleh tax holiday karena tidak memenuhi persyaratan selain nilai investasi. Setelah periode tax holiday habis, maka mereka harus membayar pajak sesuai ketentuan.

Baca Juga: Pemerintah Bantah Kritikan Faisal Bari Terkait Kebijakan Hilirisasi Nikel

Kemudian, untuk smelter-smelter yang dibangun periode 2014-2016 dan memperoleh tax holiday selama 7 tahun, saat ini sudah memulai membayar PPh Badan. Dengan mencocokkan data KBLI perusahaan-perusahaan yang memperoleh tax holiday (KBLI 24202), dan penerimaan perpajakan dari KBLI tersebut, dapat terlihat tren peningkatan yang signifikan dari pendapatan perpajakan tahun 2016-2022.

Penerimaan perpajakan tahun 2022 dari sektor hilirisasi nikel adalah Rp 17.96 trilyun, atau naik sebesar 10.8 kali dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp 1,66 triliun. Untuk pendapatan PPh Badan tahun 2022 adalah Rp 7,36 triliun atau naik 21.6 kali dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp. 0,34 triliun.

Jika kebijakan ekspor bijih nikel tetap dilakukan dengan menggunakan data tahun 2019, pendapatan pajak ekspor hanyalah sebesar US$ 0,11 miliar (Rp 1,55 triliun) atau 10% dari nilai ekspor bijih nikel sebesar US$ 1,1 miliar. Angka tersebut tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan pajak dari sektor hilirisasi nikel sebesar Rp 3,99 triliun di tahun 2019.

Maka dari itu, Seto mengatakan, analisis yang disampaikan Faisal Basri dalam menyanggah statement Presiden Jokowi terkait dengan perpajakan ini juga salah. Dari data diatas, telah terjadi peningkatan pajak yang cukup signifikan dari sektor hilirisasi ini.

Sebagai catatan, penerimaan perpajakan dari sektor hilirisasi nikel ini, belum memasukkan pendapatan pajak dari sektor lain yang ikut tumbuh akibat hilirisasi nikel ini seperti pelabuhan, steel rolling, jasa konstruksi, industri makanan dan minuman dan akomodasi.

Seto mencontohkan, pemberian tax holiday seperti kegiatan mancing, Kalau mendapatkan ikan yang besar dan banyak, perlu mengeluarkan modal untuk beli/sewa kapal, peralatan, umpan dan memperkerjakan kapten kapal dan kru ABK yang mumpuni. Semua itu tentu saja tidak gratis.

“Tax holiday pun sama, kebijakan insentif ini kita gunakan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia dan berkontribusi kepada perekonomian nasional. Kita nggak bisa mendapatkan ikan besar hanya dengan duduk diam di pinggir pantai sambil bengong,” tutur Seto dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/8).

Ketiga, terkait klaim Faisal Basri bahwa Pemerintah memberikan harga bijih nikel yang "murah" kepada smelter, dimana selisih di dalam negeri dengan harga internasional bisa mencapai puluhan dollar per ton dengan menggunakan data tahun 2022.

Terkait klaim ini, sebagai seorang yang belajar ekonomi, Faisal Basri tentu mengetahui hukum supply dan demand. Bahwa jika supply menurun sementara demand tetap, maka akan ada kenaikan harga. Hal ini lah yang terjadi pada saat Pemerintah melakukan pelarangan ekspor tahun 2020-saat ini, harga internasional naik karena supply bijih nikel dari Indonesia hilang, sehingga smelter-smelter nikel di Tiongkok hanya mengandalkan supply dari Philippina dan beberapa negara lain. Padahal Indonesia adalah supplier terbesar bijih nikel ke Tiongkok sebelumnya.

Artinya, jika ekspor bijih nikel indonesia kembali dibuka, maka harga internasional pasti akan turun karena supply bertambah dari indonesia, sehingga perbedaan antara harga nikel internasional dengan HPM pasti akan lebih kecil. Untuk itu, saya membandingkan harga ekspor bijih nikel periode tahun 2018-2019, ketika ekspor bijih nikel masih dilakukan, dengan HPM Nikel di periode yang sama.

Berdasarkan data yang saya peroleh selisih antara harga ekspor dengan harga HPM dengan grade 1.7% dan MC 35% hanyalah $ 5,5/ton dan US$ 6.9/ton masing masing di tahun 2018 dan 2019. Selisih ini, berdasarkan temuan kami pada waktu itu, ada sebagian disebabkan karena kualitas bijih nikel yang diekspor melebihi 1,7% (batas maksimum kualitas ekspor saat itu).

Terkait penalti dan beban biaya lain yang harus ditanggung oleh penambang nikel, memang benar pernah terjadi pembebanan yang tidak fair oleh smelter kepada para penambang. Hal ini disebabkan karena jumlah smelter yang sedikit dibandingkan dengan volume produksi bijih nikel dalam negeri yang besar.

Namun sejak diberlakukan Permen ESDM 11/2020 dan tindakan enforcementnya kasus-kasus tersebut jauh berkurang, apalagi kondisi saat jumlah smelter yang sudah cukup banyak justru menciptakan kekurangan supply bijih nikel. Menurut informasi terakhir yang saya terima dari para pelaku, harga beli bijih nikel saat ini bukan lagi HPM + $2, tapi bisa jauh lebih besar dari itu apalagi untuk yang mau berkontrak jangka panjang.

Memang masih ada perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan pemerintah terkait hal ini, antara lain enforcement terhadap aturan ESG, dan juga beberapa aspek tata Kelola nikel yang lain. Namun, jika Faisal Basri menyatakan bahwa Pemerintah memberikan harga bijih nikel "murah" kepada smelter, hal itu adalah berlebihan.

Keempat, terkait klaim Faisal Basri bahwa nilai tambah dari hilirisasi nikel 90% dinikmati oleh investor Tiongkok. Dalam hal ini cukup sederhana untuk membuktikan bahwa pola pikir Faisal Basri salah. Jika ekspor bijih nikel ini terus dilakukan maka nilai manfaat dari bijih nikel yang kita miliki 100% dinikmati oleh negara lain. Jadi negara asing 100% dan Indonesia 0%. Tidak ada pajak dan penambahan tenaga kerja yang tercipta di Indonesia.

Bagaimana jika kita mengukur nilai tambah hilirisasi lebih detail ? Prinsipnya sederhana yaitu menghitung seberapa besar sumber daya yang harus dikeluarkan untuk memproses bijih nikel menjadi nikel pig iron (produk smelter). Sumber daya tersebut bisa dalam bentuk tenaga kerja, teknologi, listrik dan bahan baku lainnya. Lalu kita menganalisis, pihak mana (dalam negeri atau luar negeri) yang menikmati manfaat dari sumber daya tersebut.

Berdasarkan analisis yang saya lakukan, dari 100% nilai produk smelter, kontribusi bijih nikel adalah 40%, 12% laba operasi yang bisa dinikmati investor (asumsi mendapatkan tax holiday), dan 48% adalah sumber daya tambahan yang perlu dikeluarkan untuk mengolah bijih nikel tersebut. Dari 48% angka tersebut, 32% dinikmati oleh para pelaku ekonomi di dalam negeri dalam bentuk batubara (untuk listrik), tenaga kerja, dan bahan baku lain.

Sehingga hanya 16% yang dinikmati oleh pihak supplier dari LN. Berdasarkan hitungan tersebut, nilai tambah yang dinikmati oleh pihak LN (investor dan supplier) adalah 16% ditambah komponen laba operasi 12%, sehingga menjadi 28%. Sehingga, nilai tambah yang dinikmati oleh dalam negeri adalah 32% atau secara proporsi mencerminkan sekitar 53% (32% dibagi 32%+12%+16) dari seluruh nilai tambah hilirisasi nikel.

Nilai tambah dalam negeri akan lebih besar jika pihak investor asing tersebut melakukan reinvestasi di dalam negeri, sudah tidak mendapatkan tax holiday, atau bahkan ada keterlibatan investor lokal, seperti Harum Energy, Trimegah Bangun Persada dan Merdeka Battery Materials.

Satu hal lain yang cukup penting adalah mayoritas dari investasi hilirisasi nikel di lakukan di wilayah Sulawesi dan Halmahera yang sebelumnya memiliki gap aktivitas ekonomi yang besar dengan Jawa. Dengan adanya investasi ini, terjadi penciptaan tenaga kerja dan aktivitas ekonomi yang besar, yang tidak akan terjadi tanpa adanya hilirisasi nikel ini.

Untuk IMIP jumlah pekerja saat ini mencapai 74,7 ribu orang dan IWIP sekitar 56ribu orang. Hal ini belum memperhitungkan kawasan industri lain seperti VDNI, Gunbuster, dan Pulau Obi. Dampak penciptaan lapangan pekerjaan dari hilirisasi nikel di Sulawesi Tengah dan Halmahera juga berdampak positif terhadap penurunan angka kesenjangan pendapatan (koefisien gini). Angka koefisien gini di Sulawesi Tengah dan Halmahera turun dari 37,2% dan 32,5% di 2014 menjadi 30,8% dan 27,9% di tahun 2022.

Untuk IWIP dan IMIP, jumlah tenaga kerja lokal rata-rata mencapai 85-90% dari total tenaga kerja. Gaji yang mereka hasilkan pun juga jauh lebih tinggi dari UMR, tidak seperti klaim Faisal Basri. Rata-rata gaji di IWIP bisa mencapai 7 juta sebulan, bahkan lebih tinggi dari UMR Jakarta.

Meskipun angka saya diatas adalah estimasi, tapi saya cukup yakin angka saya lebih akurat dibandingkan klaim Faisal Basri yang menyebutkan hanya 10% nilai tambah di dalam negeri yang dinikmasi dari hilirisasi nikel ini.

Kelima, terkait klaim bahwa kebijakan hilirisasi nikel tidak menimbulkan pendalaman industri karena kontribusi industri pengolahan terhadap PDB justru menurun. Dalam mencapai kesimpulan ini, Faisal Basri tidak menganalisis data dengan cermat.

Seto menyebut, memang benar kontribusi industri pengolahan menurun pada periode 2014 dibandingkan 2022, namun hal itu sebagian besar disebabkan karena turunnya kontribusi subsektor industri batubara dan pengilangan migas, industri alat angkutan dan industri kayu, alat dari kayu dll yang turun masing-masing hingga 1,3%, 0,5% dan 0,4% terhadap PDB.

Sementara itu, kontribusi subsektor industri logam dasar terhadap PDB justru meningkat 0,1%, utamanya didorong oleh hilirisasi nikel. Tanpa ada hilirisasi nikel, penurunan kontribusi industri pengolahan tentunya akan lebih turun.

Kinerja hilirisasi nikel dalam mendorong industrialisasi terlihat di level provinsi. Sejak tahun 2014 hingga 2022, provinsi di mana hilirisasi nikel terjadi mengalami peningkatan share industri manufaktur yang signifikan. Kontribusi industri pengolahan di Sulawesi Tengah mengalami peningkatan hingga 34,4%, sementara kontribusi industri pengolahan di Maluku Utara mengalami peningkatan hingga 24%.

Terkait pendalaman industri, semuanya membutuhkan proses. Ini bukan sulap atau sihir yang bisa terjadi seketika. Perlu diingat kebijakan hilirisasi nikel baru dilaksanakan secara konsisten sejak awal 2020, ketika pemerintah menerapkan larangan ekspor bijih nikel.

Sebelumnya pernah ada pelarangan, namun tahun 2017-2019 sempat diizinkan kembali ekspor bijih nikel. Jadi baru kurang lebih 3 tahun kebijakan hilirisasi nikel ini.

“Apa dampak konsistensi hilirisasi nikel ini selain sektor besi baja ? Kita mampu menarik investasi-investasi baru dalam bidang baterai lithium. Nikel kadar rendah kita yang sebelumnya tidak dipakai, saat ini bisa diproses menjadi Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang merupakan bahan baku utama baterai lithium. Bayangkan barang yang tadinya hanya sampah, saat ini bisa diproses menghasilkan bahan baku lithium baterai. Pastinya nilai tambahnya sangat besar,” ungkap Seto.

Menurutnya, perlu diketahui bahwa untuk membuat baterai lithium membutuhkan ekosistem industri yang kompleks. Tidak hanya dibutuhkan nikel, tetapi juga produk hilirisasi cobalt, aluminum, tembaga, lithium dan lain-lain. Tidak semuanya ada di Indonesia bahan bakunya. Ekosistem inilah yang saat ini sedang kita bangun di Indonesia. Semuanya sedang berproses dan tidak mudah.

Hasilnya, saat ini kita sedang membangun lithium refinery di Morowali, yang bahan mentah lithiumnya diimpor dari Australia dan Afrika. Kita juga sedang membangun pabrik copper foil untuk bahan lithium baterai, lokasinya persis didepan smelter tembaga yang dibangun freeport di Gresik.

“Kita juga sedang membangun pabrik Anoda di Morowali juga dengan kapasitas 80 ribu ton, dimana pabriknya belum selesai tapi 100% produknya sudah dipesan semua. Mereka tidak perlu pusing mencari pembeli,” kata Seto.

Antam juga saat ini sedang memfinalkan negosiasi dengan CATL dan LG Chemical, dua perusahaan baterai terbesar didunia, untuk membangun ekosistem baterai lithium dari hulu sampai hilir. Tidak mudah untuk meyakinkan para investor tersebut, dan negosiasi bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Untuk pabrik baterai sendiri, Indonesia akan memiliki pabrik baterai lithium (cell dan pack) pada tahun depan, saat pabrik baterai lithium yang dibangun LG dan Hyundai selesai konstruksi. Kapasitasnya sekitar 10GWh, cukup untuk membangun 120ribu mobil EV. Kami sudah melakukan mapping supply chain untuk baterai lithium dan mana saja target investasi yang akan kita peroleh.

Sebagai Deputi Investasi dan Pertambangan di Kemenko Marves, Seto menyatakan diirnya banyak bertemu dengan berbagai macam investor baik dari sektor keuangan ataupun pemain dalam industrinya. Dari berbagai pertemuan tersebut, semuanya menyatakan apresiasi atas transformasi struktural melalui hilirisasi nikel ini.

Dia menyampaikan, tidak sedikit yang menyampaikan minatnya untuk melakukan investasi tambahan meskipun bukan dalam sektor nikel. Saat ini Pemerintah sedang memproses investasi strategis dalam bidang petrokimia, solar panel dan fiberglass. Semuanya memiliki turunan industri yang sangat banyak.

Dalam pertemuan dengan Managing Director IMF Kristalina Georgieva hari Rabu tanggal 9 Agustus 2023 yang lalu, Beliau menyampaikan apresiasi terhadap program hilirisasi nikel yang sudah dilakukan oleh Pemerintah yang sudah berkontribusi signifikan terhadap perekonomian dan stabilitas makro Indonesia.

“Beliau juga menyampaikan permintaan maaf kepada Pemerintah Indonesia melalui Pak Luhut, jika laporan IMF yang keluar baru-baru ini menimbulkan polemik di Indonesia. Pak Luhut dan Ibu Kristalina memang sahabat baik yang sudah terbangun sejak tahun 2018, jadi keduanya bisa berbicara secara terbuka dan dari hati ke hati,” terangnya.

Jika dunia internasional saja mengapresiasi upaya Presiden Jokowi melakukan hilirisasi ini, sangat disayangkan masih ada orang-orang di dalam negeri yang mengkritik tanpa dasar, apalagi sampai bilang Presiden Jokowi menyampaikan data yang menyesatkan.

Keenam, terdapat satu pertanyaan yang cukup banyak ditanyakan, yaitu bagaimana kelanjutan program hilirisasi dan transformasi ekonomi setelah Presiden Jokowi selesai pada tahun 2024? Pertanyaan seperti ini cukup bertubi tubi saya terima.

Seto menjawab, tentu saja program tersebut akan berlanjut karena ini sudah menjadi program pemerintah. Meskipun dirinya mengaku tidak tahu apakah para investor ini puas dengan jawaban tersebut.

Menurutnya, masih banyak kekurangan dari program hilirisasi yang kita lakukan saat ini, oleh karena itu kritik dan masukan tetap kami butuhkan. Tentunya dengan dasar dan analisis yang jelas dan tidak asal tuduh apalagi sampai menyebutkan data yang Presiden Jokowi sampaikan menyesatkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari