KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Eksekutif Center for Indonesian Taxation Analysis Yustinus Prastowo menilai sanksi administrasi yang tertuang dalam UU 28/2007 pasal 13 ayat (3) terkait sanksi administrasi sebesar 50%-100% atas pajak tidak atau kurang bayar memberatkan bagi masyarakat. “Menurut saya yang 100% itu menjadi menakutkan. Karena yang 100% hanya karena kelalaian, tidak sengaja dendanya besar sekali. Itu bisa buat bangkrut yang begitu, lagi pula sebenarnya tidak merugikan keuangan negara," katanya saat dihubungi KONTAN, Kamis (22/2). Ia mencontohkan, ketika seseorang memiliki ada kelebihan pembayaran pajak senilai Rp 10 miliar, dan tercatat untuk dikreditkan pada masa pajak berikutnya. Sementara saat masuk pada masa pajak berikutnya tagihannya hanya Rp 15 miliar, sehingga ia hanya tinggal membayar Rp 5 miliar.
Namun lantaran ada kelalaian pencatatan atau hal lainnya terhadap pengkreditan Rp 10 miliar ke masa pajak berikutnya. Katakanlah hanya Rp 5 miliar yang seharusnya bisa dikreditkan, maka sisa Rp 5 miliar yang harus dibayarkan tersebut yang kena denda 100%. "Nah ternyata yang Rp 10 miliar salah, ternyata harunya cuma Rp 5 miliar, tapi saya terlanjur kompensasi Rp 10 miliar. Yang Rp 5 miliar ini saya sudah kompensasikan 100%. Memang terlalu tinggi sebenarnya, dan negara tidak dirugikan juga. Yang Rp 5 miliar saya bayar seharusnya tak perlu dikenakan lagi," jelasnya. UU 28/2007 pasal 13 ayat (3) sendiri menyatakan Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar: a. 50% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak; b. 100% dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau 100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. Sekadar informasi, UU 28/2007 pasal 13 ayat (3) sendiri telah digugat uji materi oleh Henny Victoria, Direktur PT Harapan Sinar Abadi. Selain pasal tersebut ia juga turut menggugat UU 28/2007 Pasal 9 ayat (2a), Pasal 13 ayat (1), serta UU 42/2008 Pasal 9 ayat (9). Saat membacakan permohonan gugatan saat sidang pemeriksaan pendahuluan di Mahkamah Konstitusi, Selasa (20/2), Heni menjelaskan bahwa atas ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, pihaknya mengalami kerugian yang besar. "Mengikuti semua ketetapan di atas kami seolah membayar tiga kali PPn, yang seharusnya kami bayar satu kali. Semua rekening kami juga telah diblokir dan dipindahkan ke kas negara. Kemudian satu unit mobil kami juga disita," kata Heni saat itu. Menanggapi gugatan ini, Direktur Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) Yunirwansyah mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hak sebagai warga negara untuk mengajukan uji materi ke MK.
"Kalau ada masyarakat, atau siapa pun yang berhak mengajukan judicial review ya tidak masalah. Karena itu hak mereka," katanya saat dihubungi KONTAN, Rabu (21/2). Meski demikian ia menolak jika dikatakan bahwa pasal-pasal yang digugat menjadi momok bagi masyarakat. "Sebenarnya tidak menakutkan, sanksi itu di perundangan manapun wajar ada, karena memang untuk mendidik Kepatuhan, bukan untuk menghukum," sambungnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto