Fenomena terbongkarnya sindikat Saracen oleh Polri menarik untuk kita cermati karena setidaknya ada dua alasan. Pertama, ujaran kebencian (hate speech) dan berita bohong (hoax) terbukti telah menjelma menjadi elemen penting dalam situasi masyarakat yang terpolarisasi, sehingga kapitalisasi ujaran kebencian dan berita bohong dalam bentuk bisnis laku dicari oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyerang lawan politiknya. Interpretasi lainnya, munculnya Saracen ini juga dapat dibaca sebagai kejeniusan para sindikat melihat peluang (opportunity recognition) dari menguatnya kebutuhan beberapa pihak tertentu untuk menyebarkan ujaran kebencian dan berita bohong agar dipercayai sebagai kebenaran. Mereka menyadari bahwa sebagian masyarakat yang terafiliasi dengan pihak politik tertentu membutuhkan amunisi untuk menyerang lawan politik, sekaligus memberikan penguatan kepada pendukung bahwa mereka berada di pihak yang tepat. Kedua, beberapa media nasional mencatat bahwa para anggota sindikat itu tergolong orang-orang cerdas dan berpendidikan tinggi. Para pelaku sindikat amat menguasai target pasar, mampu menggunakan bahasa persuasi yang berbeda untuk kelompok pengguna media sosial yang berbeda, dan fasih mengelola ribuan followers untuk terus secara masif menyebarkan informasi bohong dan ujaran kebencian.
Para pelaku sindikat Saracen beraksi sesuai dengan pesanan klien: mempromosikan tokoh politik tertentu, mengkritik kinerja pemerintahan pusat, menyerang lawan politik, atau jenis-jenis pesanan lainnya. Semuanya dikelola secara terstruktur. Kemampuan untuk memberikan pelayanan terbaik merupakan salah satu elemen kunci yang akan menentukan sejauhmana sebuah bisnis dapat berkembang dan bertahan dengan baik. Persoalannya, objek bisnis Saracen bertentangan dengan etika bisnis. Kedua poin di atas sangat penting untuk menjadi perhatian dan refleksi kita, khususnya dalam konteks membangun usaha rintisan (start up) maupun menjalankan bisnis. Bahwa pengetahuan dan kemampuan daya nalar harus diimbangi dengan penguasaan etik dengan sama baiknya. Menguasai kompetensi dan skil berbisnis tanpa memiliki standar penerapan etik yang tinggi akan berpotensi menjadi bisnis yang melanggar hukum. Tidak melulu soal keuntungan Fenomena Saracen di atas sebenarnya juga mengingatkan kita bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh pelaku-pelaku bisnis dan kewirausahaan adalah kemampuan untuk melatih diri memandang bisnis melampaui logika materialisme. Hal ini penting mengingat mayoritas institusi maupun masyarakat masih memandang bisnis dan kewirausahaan semata dalam kacamata ekonomi. Implikasinya, bisnis dan kewirausahaan cenderung masih menekankan kalkulasi untung-rugi dan mengedepankan pemenuhan kepentingan diri (self interest fulfilment). Padahal, kewirausahaan dan bisnis bukanlah bidang yang semata-mata mencari keuntungan material semata, tetapi juga menjadi latihan berpikir untuk mengidentifikasi problem sosial dan kemampuan menyediakan solusi bagi masalah-masalah sosial yang timbul. Meminjam terminologi milik Adam Smith, seharusnya pelaku bisnis memiliki kepentingan diri yang tercerahkan (enlightened self interest). Artinya, perilaku bisnis seyogyanya dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki situasi sosial yang lebih baik, atau dalam istilah lain yang lebih akademis, memandang bisnis sebagai liberal arts. Mendudukkan bisnis sebagai liberal arts atau tidak melulu mengedepankan keuntungan semata, akan berimplikasi pada fokus mendalam untuk memandang upaya-upaya pengembangan bisnis yang tiap hari dipelajari sebagai alat untuk pemecahan masalah sosial. Bisnis-bisnis yang dihasilkan merupakan bentuk konkret dari solusi terhadap masalah yang terjadi. Sedangkan uang yang didapatkan sebagai bagian dari penerimaan (approval) pasar terhadap solusi yang ditawarkan. Dengan memandang bisnis sebagai cara berpikir, pelaku bisnis dan wirausaha akan terlatih untuk memilih bisnis yang baik, beretika, dan tidak melanggar hukum. Karena secara natural, pemecahan masalah sosial seharusnya tidak melanggar aspek legal yustisia. Justru, bisnis kemudian bertransformasi sebagai cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta memudahkan kehidupan publik. Dengan demikian stereotip bahwa bisnis adalah kotor akan dengan sendirinya tereduksi secara gradual.
Pandangan bisnis sebagai liberal arts ini akan membawa pelaku bisnis mampu berpikir jernih dalam kerangka etik, seperti saat universitas-universitas menghasilkan para pemikir di jaman Rennaisance. Saat itu, universitas diminta mengajarkan trivium (logika, retorika, dan tata bahasa) dan quatrivium (geometri, aritmatik, astronomi dan musik). Mata pelajaran tersebut mengajarkan berpikir sebagai ciri manusia yang utuh, yang dalam bahasa latin disebut batti on nom, atau build a man. Keuntungan lainnya, bisnis dan wirausaha yang dikelola dalam perspektif liberal arts akan membuat para pelaku bisnis terlatih untuk membangun bisnis-bisnis yang dibutuhkan masyarakat (need-based start-up) dan bukan semata-mata bisnis yang didasarkan pada keinginan (want-based start-up). Dengan demikian, orientasi utama dalam berbisnis tetaplah melayani masyarakat. Selain itu, memandang bisnis sebagai liberal arts juga akan menstimulasi pelaku bisnis dan wirausaha untuk terus memperbaharui model bisnisnya mengingat situasi sosial yang dinamis. Implikasinya adalah banyak bisnis unik, kreatif, dan inovatif yang akan tumbuh dalam menjawab permasalahan sosial dan bukan justru bagian dari permasalahan sosial. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi