Saran pengamat benchmarking reformasi pajak AS



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Agenda reformasi pajak Amerika Serikat (AS) yang diusung oleh Presiden Trump telah disetujui Senat. Kementerian Keuangan (Kemkeu) menyatakan, reformasi yang mengubah sistem pajak AS itu bisa jadi tolok ukur bagi Indonesia.

Pengamat perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan, jika Indonesia akan melakukan telaah khusus dan benchmarking dari reformasi pajak AS, poin-poin spesifik tersebut berada dalam area UU PPh.

Dari sisi PPh Badan, menurut Bawono, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, soal tarif di mana langkah AS merupakan alarm bahwa keleluasaan Indonesia untuk mempertahankan tarif PPh Badan sebesar 25% sudah semakin menipis


Kedua, soal sistem pemajakan ke territorial. Indonesia sendiri saat ini masih menganut sistem worldwide. Menurut Bawono, perubahan sistem belum tentu tepat bagi Indonesia

“Indonesia belum menjadi capital exporting country. Selain itu, lanskap pajak yang transparan dan memungkinkan adanya pertukaran informasi justru meningkatkan efektivitas sistem worldwide,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (28/12).

Ketiga, soal ketentuan fixed ratio pembatasan biaya bunga yang dipatok sebesar 30% dari EBITDA. Artinya biaya bunga yang melebihi rasio 30% tersebut tidak bisa menjadi pengurang penghasilan kena pajak.

“Ini sejatinya untuk mengatasi perencanaan pajak melalui utang yang berlebihan serta mendorong struktur permodalan usaha yang lebih sehat,” ucapnya.

Di Indonesia sendiri aturan yang dianut adalah berdasarkan fixed ratio antara utang terhadap modal sebesar 4 banding 1.

Keempat, adanya revisi atas ketentuan anti penghindaran pajak, semisal BEAT (Base Erosion Anti-Abuse Tax), ketentuan CFC, alternative minimum tax, dan sebagainya.

Sementara dari sisi PPh Orang Pribadi (OP), ada dua poin spesifik. Pertama, adanya penurunan tarif pada kelompok lapisan penghasilan tertinggi.

Sebagai catatan, tax bracket yang tadinya direncanakan akan disederhanakan ternyata dipertahankan tetap menjadi 7 kelompok lapisan.

“Kebijakan penurunan ini agaknya lebih pro terhadap kelompok kaya. Di Indonesia sendiri, tinjauan mengenai lapisan penghasilan serta tarif juga perlu dilakukan,” ujar dia.

Menurut Bawono, selain untuk mengoptimalkan penerimaan dan mendorong aktivitas ekonomi, hendaknya juga menjamin distribusi penghasilan.

Kedua, pemberian fasilitas pajak yang lebih tinggi baik exemption, deduction, tax credit dan sebagainya. Bagi Indonesia, struktur fasilitas juga perlu untuk ditinjau.

“Misal, apakah perlu mempertahankan rezim PTKP atau diubah menjadi sistem kredit pajak, bagaimana fasilitas yang pro terhadap progresivitas sistem PPh OP, dan lain sebagainya,” jelasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto