Sari Wangi mengerek produksi teh



JAKARTA. PT Sari Wangi AEA membidik produksi teh olahan mencapai 40.000 ton hingga 50.000 ton tahun ini. Target tersebut lebih tinggi 33%-66% ketimbang volume produksi tahun lalu, yakni 30.000 ton. Perusahaan mengerek produksi seiring bertambahnya negara tujuan ekspor teh, seperti Timur Tengah.

Director Trade and Small Holder Relation Sari Wangi Andrew T Supit menuturkan, selain memenuhi kebutuhan pasar ekspor yang baru, Sari Wangi juga akan tetap mengenjot ekspor teh ke beberapa negara, seperti Rusia, Inggris dan Amerika. "Konsumsi teh terus menunjukkan peningkatan," kata Andrew baru-baru ini.

Memang, mayoritas atau sekitar 80% hasil produksi teh Sari Wangi dilepas ke pasar ekspor. Sisanya, dipasarkan di dalam negeri. Produk teh Sari Wangi yang dijual ke luar negeri dalam bentuk bulk atau curah, dan biasanya dibeli oleh perusahaan prosesor.


Sekadar gambaran, Sari Wangi memproduksi dan memasarkan beberapa jenis teh, mulai dari orthodox, CTC (cutting, tearing, dan curling) hingga teh hijau. Harga jual teh bervariasi, tergantung kualitasnya. Saat ini, rata-rata di kisaran US$ 2 per kilogram (kg) hingga US$ 2,20 per kg.

Selain dari perkebunan teh milik Sari Wangi, suplai bahan baku teh juga didapatkan dari pihak ketiga atau melalui kemitraan dengan petani.  Adapun, luas lahan kebun teh yang dimiliki perusahaan sekitar 3.500 hektare (ha). Lahan tersebut tersebar di daerah Sukabumi dan Ciwidey, Jawa Barat.

Asal tahu saja, sejak tiga tahun lalu, Sari Wangi sudah melakukan peremajaan tanaman secara bertahap. Hal ini dilakukan demi mendongkrak produksi teh dari kebun sendiri. Maklum, banyak tanaman teh yang sudah memasuki usia tua.

Menurut Andrew, sejauh ini, suplai teh dari perkebunan inti Sari Wangi masih sangat kecil. "Produksi teh dari kebun sendiri hanya menyumbang 20% terhadap total produksi teh perusahaan, atau masih dibawah 10.000 ton per tahun," ungkapnya.

Meski tidak merinci, Andrew bilang, untuk menyuplai kebutuhan bahan baku teh Sari Wangi, pihaknya juga mengimpor. Ia mengaku, impor teh dilakukan, lantaran jumlah suplai dari dalam negeri terus berkurang.Supaya industri teh dalam negeri bisa berkembang, Andrew berharap, pemerintah memberikan perhatian serius. Salah satu yang dapat dilakuka pemerintah, yakni mengutip bea masuk terhadap produk jadi teh impor. "Pemerintah harus menaikkan tarif impor untuk produk jadi teh," ungkapnya.

Atik Darmadi, Sekretaris Eksekutif Asosiasi teh Indonesia (ATI) memaparkan, volume produksi teh Indonesia menunjukkan tren melandai. Tahun lalu, produksi teh nasional hanya 119.651 ton, lebih rendah 29,5% dibanding produksi tahun 2003, yaitu mencapai 169.819 ton.

Luas areal perkebunan teh secara nasional juga menunjukkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1998, luas areal perkebunan teh Indonesia mencapai 157.000 ha, namun menyusut menjadi 123.500 ha pada akhir 2011.

Setiap tahun terjadi tren penyusutan lahan teh di Indonesia seluas 2.000 sampai 3.000 ha. Dari areal seluas itu, potensi kehilangan produksi teh dalam negeri mencapai 1.600 ton per tahun.

Dilema, di tengah penurunan produktivitas teh dalam negeri, Indonesia justru dibanjiri produk teh impor. Padahal, produk impor tidak jauh lebih baik dari yang dihasilkan petani teh lokal. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, volume impor teh tahun lalu mencapai 24.396 ton, atau meningkat 23% dibanding 2011. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri