KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis
peer to peer (P2P)
lending di China sedang mengalami masalah berat. Banyak investor di China menarik pendanaannya, setelah 137
platform fintech P2P
lending berhenti beroperasi di sepanjang Juni hingga Juli 2018. Mengutip Bloomberg Selasa (17/7),
platform tersebut berhenti beroperasi karena setelah diselidiki ternyata melarikan uang investor, mengalihkan dananya ke bisnis lain, menerapkan bunga terlalu tinggi dan gagal menghandle kredit macet (NPL). Terlebih, sejak awal pendiriannya, China belum mempunyai regulasi yang kuat untuk mengawasi industri
fintech tersebut.
Akibatnya, investor kehilangan kepercayaannya pada perusahaan
fintech, karena mereka tidak tahu apakah perusahaan tersebut akan bertahan. Kondisi ini berdampak sistemik dan menimbulkan kepanikan di China, karena memutus akses individu atau perusahaan yang mengandalkan pembiayaan, yakni orang-orang yang membutuhkan modal kerja, tidak dapat pembiayaan dari perbankan dan investor pasar modal yang berinvestasi di bisnis ini. Mengetahui hal tersebut,
Chief Executive Officer (CEO) Modalku Reynold Wijaya mengatakan, kejadian tersebut terjadi karena sedari awal pemerintah China tidak mempunyai regulasi yang kuat untuk mengawasi bisnis pinjam meminjam berbasis teknologi. “Makanya di China tumbuh perusahaan
fintech abal-abal dan liar. Banyak Fintech di China yang tidak terdaftar dan tidak diawasi oleh pemerintah, karena zaman dahulu China tidak punya regulasi industri
fintech,” kata Reynold kepada Kontan.co.id, Selasa (17/7). Atas kondisi tersebut, pihaknya merasa bersyukur di Indonesia dari awal tumbuhnya industri
fintech telah mempunyai regulasi yang kuat. Seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 77/POJK/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang berbasis teknologi. Secara umum perusahaan
fintech yang ingin beroperasi di Indonesia, harus memenuhi syarat OJK yakni sudah berstatus terdaftar dan berizin dari pemerintah. “Kalau di Indonesia
fintech yang abal-abal sudah dibasmi, itu dari proses pendaftaran dan perizinan
fintech yang ketat, untuk memastikan perusahaan itu baik agar industri pembiayaan biasa aman,” ungkapnya. Reynold yang juga menjabat sebagai Koordinator Satgas P2P Lending Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) ini sangat mengapresiasi kinerja OJK yang dinilai tegas dan mendukung perkembangan industri fintech di tanah air. Terlebih, perusahaan
fintech diwajibkan mengedepan perlindungan konsumen, dengan melaporkan keuangan secara berkala dan mengantisipasi tindakan pencucian uang. Untuk menjamin keamanan tersebut, perusahaan
fintech berperan sebagai
escrow atau pihak ketiga yang menghubungkan antara penjual dan pembeli. Tujuannya adalah sebagai fasilitator dana investor kepada peminjam. “Dari awal sudah dibentuk
escrow account, sehingga tidak bisa melarikan dana investor. Melalui ini sudah ada data pemberi pinjaman secara detil, hal ini membuat kerja kami lebih kredibel,” jelas dia. Di sisi lain, untuk memitigasi risiko gagal bayar, melalui bantuan teknologi kecerdasan buatan atau
artificial intelligence (AI), di mana teknologi ini mampu menyeleksi secara ketat calon peminjam.
Meski demikian, menurut Reynold, tetap saja teknologi tersebut berpotensi adanya kredit macet atau gagal bayar. “Gagal bayar itu adalah suatu risiko, setiap industri
fintech maupun perbankan ada risiko gagal bayar. Tapi bagaimana dari awal bagaimana kami menelusuri calon peminjam secara tepat dan memperhatikan kualitas
loan,” jelas dia. Dalam hal ini, penyelesian calon peminjaman itu ditentukan oleh jumlah pinjamannya. Semakin besar jumlah pinjamannya, maka persyaratannya akan semakin ketat, dari mulai mengetahui jejak rekam peminjam, bagaimana reputasi perusahaan tersebut hingga mendatangi langsung ke lokasi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi