Satu data beras yang akurat dan terkini



Setelah mendapat banyak sorotan dari berbagai kalangan, akhirnya pemerintah melakukan koreksi data terkait beras. Data hasil koreksi tersebut disampaikan seusai rapat terbatas yang dipimpin oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Senin (22/10). Data yang dikoreksi antara lain adalah luas baku sawah berkurang dari 7,75 juta hektaree (ha) pada tahun 2013 menjadi 7,1 juta hektare e pada tahun 2018.

Selain itu koreksi data juga dilakukan pada potensi panen padi tahun 2018 yang luasnya mencapai 10,9 juta hektare. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan angka prediksi Kementerian Pertanian yang mencapai 15,99 juta hektare. Sedangkan angka potensi produksi padi di tahun 2018 ini mencapai 56,54 juta ton gabah kering giling (GKG). Koreksi tersebut jelas jauh lebih rendah dibanding angka Kementerian Pertanian yang sebanyak 83,03 juta ton GKG.

Sebagai dasar dalam perencanaan dan pengambilan keputusan strategis di bidang pangan, utamanya beras, maka validitas input data yang digunakan harus benar-benar terjamin. Menurut Wirosardjono (1984), validitas data merupakan kedekatan antara nilai yang diperoleh dari hasil pengukuran contoh dengan angka yang sebenarnya (true value). Pengukuran yang dilakukan haruslah merupakan tindakan yang jelas tata caranya. Sudah terinci pula urutan tindakannya. Serta secara operasional langkah-langkah pengukuran itu dapat didefinisikan dengan tiada kekaburan.


Persoalannya, penggunaan basis data yang validitasnya diragukan dituding menjadi biang dari sengkarutnya kebijakan pemerintah di bidang pangan selama ini. Pada tahun 2015 lalu, misalnya, orkestrasi penyelenggaraan pemerintahan sempat mengalami disharmoni karena dipicu polemik terbuka antara Presiden dan Wakil Presiden menyangkut kebijakan importasi beras.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa pemerintah memutuskan untuk kembali mengimpor beras sebanyak 1,5 juta ton dari Thailand. Namun pernyataan tersebut dibantah Presiden Joko Widodo yang menyatakan bahwa cadangan beras nasional pada saat itu mencukupi sehingga pemerintah belum berencana impor beras.

Belum lama ini disharmoni dan kegaduhan itu kembali terjadi. Kegaduhan itu melibatkan Direktur Utama Bulog, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, serta Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution. Pemicunya ternyata masih sama: soal kebijakan impor beras. Kegaduhan yang menjurus emosional tersebut bahkan sempat viral di media sosial selama beberapa hari lamanya.

Audit lahan

Koreksi data seperti ini memang sangat penting dilakukan. Sebuah adagium barat telah mengatakan garbage in garbage out, gold in gold out. Jika data yang digunakan dalam perencanaan adalah data yang tidak akurat (data sampah), maka keputusan yang dihasilkan juga bernilai sampah (tidak akurat). Sebaliknya adalah jika input data perencanaan berupa data yang akurat, maka keputusan yang dihasilkan juga akan tepat.

Perbedaan data yang sangat signifikan antara data koreksi dan data dari Kementerian Pertanian (Kemtan) memang sudah banyak diprediksi banyak kalangan. Menyangkut luas baku sawah. Misalnya, selama bertahun-tahun meski terjadi pengurangan luas lahan untuk keperluan pembangunan, namun data luas baku lahan relatif tetap dari tahun ke tahun.

Saat menjadi tim Program Iuran Pelayanan Irigasi (IPAIR) beberapa tahun lalu penulis menemui kejanggalan terkait luas baku sawah tersebut. Pada kuitansi pembayaran IPAIR tertulis status lahan sawah. Namun ketika dicari di lokasi ternyata objeknya ternyata sudah tidak ditemukan karena sudah berubah menjadi bangunan sekolah.

Kalau benar-benar dicermati di lapangan, kejanggalan seperti ini masih akan banyak ditemui. Dalam data luas baku lahan statusnya masih tertulis sawah. Namun sebenarnya sudah berubah menjadi bangunan sekolah, Puskesmas, perumahan, terminal bus, atau bangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial lainnya.

Data luas lahan yang tidak valid ini bukan saja berdampak pada tidak akuratnya data produksi beras, tetapi juga membengkaknya anggaran yang harus disediakan pemerintah untuk biaya eksploitasi dan pemeliharan jaringan irigasi. Bukan hanya itu, anggaran terkait subsidi pertanian mestinya lebih ditekan.

Anggaran subsidi pupuk, misalnya, pada tahun 2016 kemarin pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp 30,1 trilliun. Kemudian tahun 2017 sebanyak Rp 31,2 trilliun dan tahun 2018 ini mencapai Rp 28 triliun. Sedangkan di tahun 2019 nanti direncanakan sebesar Rp 29,5 triliun.

Menurut hemat penulis koreksi data beras ini tidak boleh berhenti pada data-data menyangkut sisi produksi (on farm), tetapi juga harus dilakukan pada sisi konsumsi (off farm). Saat ini paling tidak terdapat tiga versi data konsumsi beras penduduk dari kementerian/lembaga. Kementerian Pertanian pernah memakai angka konsumsi 139,15 kilogram/kapita/tahun, BPS 114,8 kilogram/kapita/tahun, versi Susenas sebesar 87,63 kilogram/kapita/tahun.

Beragamnya data konsumsi beras ini membuat beragamnya data neraca beras nasional sehingga sering terjadi tarik ulur dalam eksekusi kebijakan menyangkut kebijakan terkait beras. Kegiatan impor pangan (termasuk beras), sebenarnya merupakan kegiatan ekonomi yang biasa dilakukan banyak negara. Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah mengatur hal ini. Impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.

Kini saatnya pemerintah mewujudkan satu data beras dan data komoditas pangan strategis lain yang akurat. Satu data beras yang akurat akan sangat membantu pemerintah dalam melakukan eksekusi kebijakan strategis di bidang pangan. Kebijakan apa saja yang harus dilakukan pemerintah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional? Apakah perlu impor? Kapan waktu paling tepat kebijakan impor dilakukan? Berapa jumlahnya?

Semua pertanyaan itu hanya bisa dijawab jika pemerintah memiliki satu data pangan yang akurat dan terkini.

Toto Subandriyo Pengamat Sosial Ekonomi Pertanian lulusan IPB dan Pascasarjana Unsoed

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi