Satu perusahaan Malaysia kembali masuk daftar hitam AS karena dugaan kerja paksa



KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Otoritas bea cukai AS kembali melarang impor dari sebuah perusahaan sarung tangan Malaysia karena dugaan praktik kerja paksa. Perusahaan bernama Smart Glove ini adalah perusahaan kelima yang masuk daftar hitam AS dalam 15 bulan terakhir.

Dilansir dari Reuters, Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP) AS pada hari Kamis (4/11) mengeluarkan kebijakan "Withhold Release Order" yang melarang impor dari Smart Glove dan kelompok perusahaannya.

Dalam pernyataannya, CBP mengatakan bahwa keputusan tersebut didasarkan pada bukti yang masuk akal yang menunjukkan fasilitas produksi Smart Glove menggunakan kerja paksa.


Smart Glove merupakan perusahaan yang membuat sarung tangan karet untuk industri medis dan makanan. Smart Glove masih belum berkomentar soal ditutupnya pintu impor oleh AS.

Pabrik-pabrik Malaysia semakin diawasi ketat atas tuduhan dari kelompok hak asasi dan pekerja yang melakukan pelecehan terhadap karyawan asing, yang merupakan bagian penting dari tenaga kerja manufaktur.

Perusahaan yang dipantau bergerak di berbagai sektor, mulai dari minyak kelapa sawit hingga sarung tangan medis dan komponen iPhone Apple.

Baca Juga: Diduga alami kerja paksa, mayoritas pekerja FGV Holdings berasal dari Indonesia

CBP mengatakan penyelidikannya mengidentifikasi 7 dari 11 indikator kerja paksa yang ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Smart Glove, tetapi tidak mengatakan yang mana yang ditemukan.

Beberapa indikator yang tertuang dalam peraturan ILO antara lain mengenai  jam kerja yang berlebihan, jeratan utang, kekerasan fisik dan seksual, kondisi kerja dan kehidupan yang sewenang-wenang.

Sebelum Smart Glove, AS juga sudah melarang impor dari perusahaan sarung tangan lainnya, yakni Supermax Corp, pada bulan lalu. Supermax mengatakan akan mempercepat proses yang telah dimulai pada 2019 untuk memenuhi standar ILO.

Perusahaan sarung tangan Malaysia lainnya, yakni Top Glove, juga dilarang oleh CBP atas tuduhan serupa Juli lalu. Larangan itu dicabut bulan lalu setelah perusahaan menyelesaikan masalah perburuhan.

Selain ketiga perusahaan sarung tangan tersebut, CBP juga melarang produsen minyak sawit Sime Darby Plantation dan FGV Holdings sejak tahun lalu. Keduanya dilaporkan telah menunjuk auditor untuk mengevaluasi praktik mereka dan mengatakan mereka akan terlibat dengan CBP untuk mengatasi masalah yang diangkat.

Selanjutnya: Ada tuduhan kerja paksa, AS melarang impor minyak sawit dari Sime Darby Malaysi