Sawit dan tekstil jadi komoditi ekspor paling terpukul akibat krisis Eropa



JAKARTA. Krisis utang Eropa dan krisis defisit anggaran yang di hadapi AS menghantam perekonomian di kedua wilayah tersebut. Padahal Eropa dan AS merupakan pasar yang penting bagi dunia, termasuk Indonesia. Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian Agus Tjahayana bilang, beberapa komoditi ekspor yang bakal terpengaruh akibat melemahnya permintaan pasar AS dan Eropa adalah kelapa sawit dan produk tekstil. Selama ini Eropa merupakan pasar ekspor kelapa sawit dan AS menjadi pasar ekspor tekstil yang cukup signifikan bagi Indonesia. Ekspor Indonesia ke Uni Eropa sepanjang periode 2007-2010 tercatat meningkat dengan rata-rata sebesar 9%. Angka itu melebihi impor produk industri dari Eropa yang mencapai 8%. Pada 2010 neraca perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa surplus US$4,5 miliar. Jumlah itu disumbang hasil olahan kelapa atau kelapa sawit dengan pangsa pasar 20%, tekstil dan produk tekstil 14,5%, elektronika 10,5%, olahan karet 10,5%, dan sepatu atau alas kaki 8%.Tekstil merupakan komoditi ekspor kedua terbesar dengan nilai mencapai US$11 miliar. Negara tujuan ekspor terbesar yaitu Amerika Serikat dan Korea Selatan dengan total nilai mencapai US$4,6 miliar. Meski sempat mengalami pertumbuhan dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan penurunan angka ekspor dari dua komoditi itu seharusnya dapat diakali dengan menggesernya ke negara lainnya atau merekayasa menjadi produk lain. Misalnya, kelapa sawit bisa dialihkan untuk produksi biofuel. "Tapi tekstil yang turun juga sedikit berat," ujarnya.Sebab, sektor tekstil dan produk tekstil memiliki orientasi ekspor sepenuhnya. Sehingga ketika terjadi goncangan di negara tujuan ekspor, industri dalam negeri bakal sulit bertahan karena pasar domestik tidak bisa menopang.Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan, beberapa perusahaan tekstil di Indonesia terdata telah mengalami penurunan pesanan dari Uni Eropa dan Amerika Serikat.Kenaikan harga kapas yang terlihat sejak akhir 2010 dan kondisi krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa telah merugikan industri tekstil Indonesia. "Seharusnya, pemerintah setiap negara mengambil kebijakan tegas untuk mengatasi persoalan yang membelit pertekstilan itu," katanya.Apalagi, untuk mengalihkan pasar ekspor tekstil dan produk tekstil terbilang sulit. Sebagai gambaran, ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat mencapai US$4 miliar atau 36% dari total ekspor. Sementara negara lainnya mendapat porsi 14% atau setara dengan US$ 1,8 miliar. "Tidak ada lagi pasar lain sebesar Amerika Serikat dan Uni Eropa. Kedua pasar itu tidak bisa dialihkan," ungkapnya.API tengah menginventarisasi kemungkinan terburuk akibat potensi merosotnya pasar ekspor tekstil di kedua wilayah itu. Efek terburuk kemungkinan bakal menyebabkan kerugian akibat pengurangan pesanan, pengurangan jam kerja, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Lamanya gejala resesi ini dikhawatirkan berefek pada seluruh industri di seluruh dunia," katanya. Saat Indonesia mengalami penurunan pesanan, Thailand dan Vietnam justru mengalami peningkatan order lantaran mengantongi prefencial tariff 0%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Rizki Caturini