KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perbankan harus memutar otak untuk hadapi rencana pemerintah merilis Surat Berharga Negara (SBN) ritel hingga sepuluh kali. Jika tak bersiasat dengan baik, likuiditas bank bisa terancam. Pemerintah telah memulai penerbitan sejak merilis Saving Bond Ritel seri 005 (SBR005) 10 Januari lalu dengan penawaran bunga minimum yang menarik yakni 8,15%. Ke depan, pemerintah berencana masih akan menerbitkan tiga kali SBR lagi. Selain SBR, Sukuk Tabungan (ST) juga direncanakan akan terbit empat kali. Sementara sisa dua instrumen lain, akan diterbitkan dalam bentuk Obligasi Negara Ritel (ORI), dan Sukuk Ritel (SR).
Sekretaris Perusahaan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jan Hendra bilang, soal peralihan dana pihak ketiga (DPK) perbankan ke SBN ritel sejatinya bukan ancaman. Sebab pada akhirnya, dana yang dihimpun dari SBN akan kembali ke masyarakat atau sistem perbankan melalui belanja pemerintah. Namun ia tak menampik bahwa secara jangka pendek, likuditas perbankan memang terancam. "Yang perlu menjadi perhatian adalah menjaga likuiditas kami dengan menjaga keseimbangan portofolio aset jangka pendek dengan jangka panjang," katanya kepada Kontan.co.id, Senin (14/1). Siasatnya, kata Hendra, perseroan masih akan bertumpu pada pengumpulan dana murah alias
Current Account and Saving Account (CASA). Ditambah penghimpunan deposito sebagai penyeimbang. Sebelumnya, Presiden Direktur Jahja Setiaatmadja menyebut penerbitan SBN memang jadi tantangan likuditas. Pasalnya, ia bilang setiap kali pemerintah merilis SBN, 30%-40% dana minggat dari bank. "DPK tahun ini memang akan lebih berat, makanya sulit pula jika kredit diminta agresif. Jika DPK lancar kita berani," kata Jahja. Hingga November 2018 BCA sendiri telah menghimpun DPK hingga Rp 614,53 triliun, meningkat 6,86% secara
year on year (yoy) dibandingkan November 2017 sebesar Rp 575,04 triliun. Sedangkan pertumbuhan kredit BCA dalam periode yang sama bertumbuh hingga 18,81%, dimana pada November 2018 jumlahnya sebesar Rp 526,93 triliun. BCA sendiri merupakan salah satu mitra distribusi SBR005 yang ditunjuk pemerintah. Mitra distribusi lainnya, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) juga turut mengamini kondisi tersebut. Menghadapi tantangan likuditas tersebut, Direktur Bank BTN Budi Satria bilang perseroan akan mendorong masyarakat calon pembeli SBN untuk menggunakan uang di luar dana perbankan. Di samping itu, guna menjaga likuiditas perseroan jangka pendek, BTN juga berencana merilis
negotiable certificate of deposit (NCD) dalam waktu dekat. "Kami mendorong nasabah untuk menggunakan
fresh money yang disimpan di luar BTN. Di samping itu kami juga sedang melakukan
review untuk menerbitkan NCD, tapi berapa nilainya, dan kapan waktunya belum bisa disampaikan," kata Budi. Terakhir, pada November lalu BTN juga telah merilis NCD tahap III/2018 dengan nilai total Rp 2,02 triliun. Surat utang tersebut dibagi atas tiga seri, pertama Seri A senilai Rp 1,34 triliun berkupon 8,3% pertahun dengan tenor 183 hari. Kemudian Seri B senilai Rp 170 miliar dengan kupon 8,4% pertahun dan tenor 170 hari. Dan Seri C senilai Rp 510 miliar dengan kupon 8,5% pertahun dan tenor 365 hari. Sementara di lain pihak, Ketua Komisioner Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) Halim Alamsyah turut mengakui kondisi ini. Terlebih jika SBN ritel kelak banyak diminati masyarakat yang membeli dengan nominal tak besar.
"Profil investor yang masuk ke SBN ini masih dipenuhi oleh pemain dengan dana besar, jika demikian mungkin tak terlalu berpengaruh ke DPK. Namun kalau mulai banyak masyarakat yang beli dengan nilai kecil baru akan berpengaruh ke likuditas," katanya. Meski demikian, Halim bilang soal ketatnya likuditas perbankan sejatinya tak perlu dikhawatirkan. Lantaran Bank Indonesia disebutnya telah berkomitmen mengambil langkah. "Saya yakin hal ini jadi topik diskusi, KKSK, Menkeu pasti menghitung, Bank Indonesia melihat, dan OJK memantau. Jika terjadi keketatan likuditas," ungkapnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi