MOMSMONEY.ID - Tren suku bunga turun sudah terjadi di sepanjang 2024. Namun, pasar obligasi masih akan mendapat beberapa sentimen negatif ke depan. PT Schroder Investment Management Indonesia berikan proyeksi kinerja pasar obligasi, berikut ini. Dalam laman Schroders Indonesia, manajer investasi ini memandang, sentimen penurunan suku bunga hanya bertahan sebentar dalam menyokong kinerja pasar obligasi dalam negeri. Sebab, hasil pemilu AS menobatkan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat ke-47 cenderung membawa sentimen negatif bagi pasar obligasi. Kebijakan Trump diperkirakan akan berdampak pada inflasi yang lebih tinggi, pro-pertumbuhan di AS, dan penguatan dolar yang tidak menguntungkan bagi pemegang US Treasury serta pasar negara berkembang.
Baca Juga: 20 Template Kalender 2025 Terbaru untuk Persiapan Tahun Baru Schroders meyakini bahwa imbal hasil obligasi akan tetap tinggi dan the Fed mungkin akan lebih sulit untuk menurunkan suku bunga sesuai dengan dot plot-nya, terutama jika kebijakan Trump disahkan menjadi undang-undang. Di balik ini, defisit fiskal dan tingginya tingkat utang pemerintah AS, kemungkinan akan membatasi kenaikan imbal hasil obligasi. Surat Utang Negara Indonesia (IndoGB) mengalami aksi jual hingga ke level 6,87%, naik 38 bps dari akhir tahun. Sementara US Treasury mengalami aksi jual sebesar 33 bps ke 4,19% per akhir November. Ini membuat spread antara IndoGB terhadap US Treasury melebar menjadi 268 bps. Ini terlihat mahal dari perspektif historis, namun relatif lebih kompetitif dibandingkan negara lain. Tren tingkat inflasi tahunan kita menurun ke kisaran 1,7%-1,8%, ini membuat imbal hasil riil kita menjadi 5,36% dan menempati peringkat pertama dibandingkan dengan peers BBB kita, yaitu India dan Filipina. Keunggulan USD dan kekuatan saham AS sangat luar biasa meskipun ada tanda-tanda pelemahan di pasar tenaga kerja mereka sejak pertengahan tahun ini. DXY menguat kembali ke level 105,7 dengan kenaikan 4,25%.
Baca Juga: 25 Kartu Ucapan Tahun Baru 2025 yang Bisa Diunduh dan Edit Gratis Mata uang Asia lainnya terdepresiasi, CNH turun -2% menjadi 7,24, SGD turun -1,5% menjadi 1,34, dan Rupiah juga mengalami hal yang sama dan terdepresiasi -2,84% menjadi Rp 15.845. Schroders melihat bahwa rupiah kemungkinan akan tetap tertekan akibat penguatan dollar AS. Pemerintahan Prabowo Dalam pemerintahan baru Prabowo-Gibran, Schroders melihat pergeseran prioritas ke program-program yang memiliki dampak lebih langsung bagi konsumen seperti Program Makan Bergizi, tiga juta perumahan, dan kenaikan gaji lainnya bagi pegawai negeri. Kebijakan-kebijakan ini membuat investor asing berhati-hati karena dapat mengubah trajektori fiskal dalam jangka menengah. Kekhawatiran ini ditambah dengan penurunan pendapatan pemerintah tahun ini akibat penerimaan pajak yang lebih rendah dan pendapatan non-pajak yang lebih rendah sebagai akibat dari penurunan harga komoditas. Namun, Schroders merasa tenang dengan terpilihnya kembali Sri Mulyani untuk terus memegang posisi Menteri Keuangan, yang dianggap ramah bagi pasar obligasi mengingat rekam jejaknya yang konservatif. Anggaran tahun 2025 telah disetujui dengan defisit fiskal -2,5%, dan sebagian besar belanja tidak disebutkan dan dialokasikan ke pos "Lainnya", sehingga memungkinkan adanya bantalan bagi pemerintah baru untuk merealokasi belanja mereka. Oleh karena itu, Schroders meyakini bahwa pengelolaan fiskal dalam jangka pendek kemungkinan akan tetap dapat terkendali, meski kami tetap memperhatikan tentang dampak jangka menengah dari kebijakan pemerintah yang dapat menyebabkan defisit dan penerbitan utang yang lebih tinggi. Kebutuhan pembiayaan kembali pemerintah mungkin akan menghadapi tantangan dalam beberapa tahun ke depan karena ada beberapa obligasi yang akan jatuh tempo. Akan ada Rp 721,1 triliun dan Rp 741,9 triliun obligasi yang jatuh tempo masing-masing pada tahun 2025 dan 2026. Pembiayaan utang bersih diperkirakan akan meningkat menjadi Rp 643 triliun pada tahun 2025 dari Rp 452 triliun yang diperkirakan pada tahun 2024. Selain itu, penggunaan SAL untuk membantu penerbitan obligasi tahun ini sebesar Rp 150 triliun akan membuat pemerintah memiliki lebih sedikit kelebihan kas pada akhir 2025. Hal ini berarti lebih sedikit penyangga untuk pembiayaan atau pengeluaran berikutnya.
Baca Juga: Jalan Kaki Setelah Makan Bisa Menurunkan Gula Darah, Ini Manfaat Lainnya! Dampak SRBI Di sisi moneter, penggunaan SRBI sebagai alat untuk pengetatan oleh BI juga akan mempersulit valuasi SUN. Pada saat rupiah tertekan, Schroders mencatat bahwa imbal hasil SRBI akan naik secara signifikan. Pada bulan November, ketika rupiah dengan cepat kembali ke kisaran 15.700-15.800, imbal hasil SRBI 12 bulan juga naik menjadi 7,1%. Sepanjang tahun, imbal hasil SRBI pada puncaknya mencapai 7,5% dari April hingga Juli dan ini memengaruhi permintaan terhadap SUN, terutama dari pihak asing dan bank. Hingga Oktober, secara year-to-date, bank membeli bersih Rp 321,8 triliun, dan pihak asing juga membeli bersih Rp 200 triliun dalam instrumen SRBI. Sementara itu, pada SUN, bank membukukan arus keluar bersih sebesar -Rp 59,3 triliun dan pihak asing hanya membeli bersih Rp 42,8 triliun, hanya 20% dari yang mereka investasikan ke SRBI. Hal ini mencerminkan bahwa SRBI dengan risiko durasi nol adalah pilihan yang lebih baik bagi investor yang dapat mengakses instrumen tersebut. Akibatnya, imbal hasil SUN jangka pendek naik 19 bps menjadi 6,69% dan ini membuat kurva SUN terlihat mendatar. Sebagai kesimpulan, Schroders akan lebih defensif pada tahun 2025 di pasar obligasi. Schroders melihat sedikitnya doronganan dollar AS untuk melemah dan rupiah kemungkinan akan tetap tertekan.
The Fed bisa menjadi kurang akomodatif dan Bank Indonesia akan kesulitan untuk melonggarkan kebijakan dan menjaga imbal hasil SRBI tetap tinggi. Kebutuhan refinancing di pasar SUN dapat menimbulkan risiko pasokan meskipun telah diantisipasi oleh Kementerian Keuangan. Pihak asing, bank, dan institusi NBFI mungkin memilih SRBI daripada SUN karena perbedaan imbal hasil. Di sisi lain, kami melihat bahwa ritel akan terus tumbuh seiring dengan meningkatnya penerbitan. Dari sudut pandang investor asing, valuasi tetap mahal selama imbal hasil US Treasury tetap tinggi. Ini juga bertepatan dengan Presiden terpilih Trump dan kemenangan Partai Republik di kongres, yang kemungkinan akan membuat USD lebih kuat dan investor asing mungkin menunda investasi di mata uang pasar negara berkembang termasuk obligasinya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Danielisa Putriadita