SCMA dan MNCN Beradu di Bisnis Digital



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten pengelola stasiun televisi berpeluang menikmati pertumbuhan belanja iklan di tahun ini. Hajatan pemilihan umum (pemilu) bakal menjadi katalis. 

Tahun lalu, adanya perhelatan besar, terutama Asian Games mampu mengerek belanja iklan televisi. Layanan sistem monitoring iklan televisi (TVC) Adstensity mencatat, total belanja iklan di TV pada 2018 mencapai Rp 110,46 triliun, naik 13,35% dibandingkan 2017. Kontribusi terbesar yakni 20,31% dari industri produk personal care.

Tiga stasiun televisi milik PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) menguasai pangsa pasar iklan mencapai 28,26%. Diikuti, grup PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) sebesar 18,67%.


Meski kali ini momentumnya politik, tapi, pertumbuhan signifikan diduga tidak bersumber langsung dari iklan politik. Memang, iklan kampanye akan mulai ditayangkan di media massa. Tapi, Kepala Riset Narada Asset Management Kiswoyo Adi Joe menilai, efeknya tidak akan signifikan. Sebab, penayangan iklan kampanye hanya singkat, 24 Maret-13 April 2019. Bandingkan dengan iklan kampanye pada pilpres 2014 yang berlangsung tiga bulan.

Kala itu, menurut data Nielsen, kontribusi iklan politik hanya 2% terhadap total belanja iklan nasional yang mencapai Rp 109,74 triliun.

Belum lagi, pada pemilu kali ini, jatah slot iklan dibatasi. Makanya, Direktur Utama MNCN David Fernando Audy menduga, iklan politik di televisi tak terlalu potensial. “Parpol tidak banyak beriklan di televisi karena ada aturan KPU. Mereka memanfaatkan billboard dan media sosial,” kata dia kepada Kontan.co.id, Jumat (18/1).  

Peluang belanja iklan yang lebih besar justru diperkirakan bersumber dari para produsen barang konsumer. Sebab, hajatan politik biasanya mendongkrak konsumsi. Apalagi, pemerintah menambah anggaran bantuan sosial di 2019.

Robert Sebastian, analis Ciptadana Sekuritas Asia mengatakan, perusahaan konsumer   memanfaatkan kenaikan daya beli. Mereka akan menambah belanja iklan. “Ini efeknya akan bagus bagi emiten media yang memiliki pangsa pemirsa besar dan rating konsisten,” ujar dia.

Kiswoyo melihat, potensi peningkatan belanja iklan dari perusahaan lokal pasca pemilu. Dia meyakini perusahaan yang wait and see di 2018 akan lebih ekspansif setelah pemilu. 

Toh, media televisi menghadapi tantangan pergeseran iklan ke ranah digital. Menurut analis Mirae Asset Sekuritas, Christine Natasya, industri fast moving consumer goods (FMCG) kini lebih banyak promosi melalui internet dan media daring.

Tak heran, emiten media, seperti MNCN dan SCMA berlomba menjajal bisnis digital. Selain mendirikan media daring, juga memproduksi konten sendiri. Bagaimana prospek bisnis kedua emiten itu pada 2019. Simak ulasan berikut ini.          

SCMA: Upaya Ekstra Supaya Tetap Tumbuh

Emiten PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) harus ekstra kreatif agar momentum pertumbuhan kinerja tetap terjaga di tahun ini. Apalagi, media televisi menghadapi tantangan pergeseran iklan ke digital.

Tahun lalu, SCMA menikmati rezeki dari perhelatan Asian Games. Maklum, dua stasiun televisi di bawah naungan emiten itu, yaitu SCTV dan Indosiar, menjadi penyiar resmi Asian Games. Tak heran, pendapatan dan keuntungan perusahaan di kuartal III 2018 melonjak.

Tapi, tahun ini, ajang monumental semacam itu terbilang sepi. Makanya, analis Mirae Asset Sekuritas Christine Natasya menilai, tahun ini, SCMA kurang katalis.  “Setelah tahun lalu tumbuh tinggi karena Asian Games, maka, SCMA akan sulit untuk tumbuh lebih tinggi lagi di tahun ini,” kata dia.

Memang, ada perhelatan pemilihan umum (pemilu) yang bisa menjadi katalis bagi emiten media.  Tapi, pendapatan dari iklan politik diprediksi tidak signifikan. Kepala Riset Narada Asset Management Kiswoyo Adi Joe menilai, waktu penayangan iklan kampanye yang hanya tiga pekan, menyebabkan kesempatan stasiun TV mendongkrak pendapatan menjadi lebih sempit.

Tapi, Robert Sebastian, analis Ciptadana Sekuritas Asia melihat, SCMA masih bisa mendulang pendapatan dari iklan perusahaan konsumer. Sebab, produsen barang konsumer akan menggenjot penjualan dengan memanfaatkan kenaikan daya beli di tahun politik. Dengan pangsa pemirsa alias audience share yang besar, SCMA akan dilirik oleh pengiklan. 

“Secara historikal, audience share lebih unggul. Meski, memang ada beberapa momen, kompetitor menyalip unggul,” ujar Robert.

Persaingan di industri pertelevisian memang kian ketat. Tak heran, perolehan pangsa pemirsa, terutama antara SCMA dan MNCN masih salip menyalip. Ciptadana mencatat, pangsa pemirsa sepanjang masa SCMA mencapai 31,8% per Januari 2019. Angka itu stabil dibandingkan bulan sebelumnya. Tapi, di periode Januari ini, MNCN berhasil unggul.

Meski pangsa pemirsa SCMA stabil, tapi sejatinya porsi primetime turun sebesar 110 bps month on month (mom) menjadi 32%. Penurunan itu karena popularitas sinetron di SCTV menurun. Makanya, beberapa judul sinetron baru akan diluncurkan untuk merebut kembali pasar primetime.

Selain itu, ajang pencarian bakat di Indosiar “Konser Lida 2019” akan jadi andalan SCMA. Program itu telah meraih dua sponsor besar, yaitu Indofood dan Unilever. Di segmen non-primetime, Indosiar juga konsiten meningkatkan konten. Alhasil, pangsa pemirsa terus naik, terutama didorong seri FTV Azab.

Persaingan digital

Christine menyebut, SCMA  menghadapi tantangan tren pergeseran iklan ke digital. Menurut dia, perusahaan fast moving consumer goods (FMCG) mulai banyak beriklan di media digital. 

Kiswoyo sependapat. Meski begitu, dia bilang, SCMA sudah mengantisipasi. Melalui sinetron yang diproduksi sendiri, sejumlah iklan bisa langsung menyatu dengan konten program. 

Apalagi, SCMA juga sudah menjajal bisnis digital. Mereka punya media daring, seperti Liputan6.com. Emiten grup Emtek ini bahkan membidik ekspansi ke bisnis hiburan digital. Mengutip riset Danareksa Sekuritas, Desember 2018, SCMA siap menggarap pasar digital melalui akuisisi Vidio.com dan Kapan Lagi Youniverse . Bisnis itu dalam tiga tahun diperkirakan bisa berkontribusi 35%–40% pada pendapatan SCMA. Tapi, dalam jangka pendek, biaya akuisisi bakal menekan laba.

“Karena tren ekspansi bisnis media serupa, maka yang paling kreatif dan siap mengembangkan bisnis digital akan unggul,” kata Kiswoyo.

Tahun ini, dengan pertimbangan sepi katalis, Christine memprediksi pertumbuhan kinerja SCMA bisa melambat. Emiten ini juga berencana buyback maksimal 10% dari total saham beredar dengan alokasi dana  Rp 3 triliun. Aksi korporasi ini akan berdampak pada keuangan. Posisi kas perusahaan kuartal III 2018 hanya Rp 762 miliar. 

Proyeksi Christine, pendapatan SCMA tahun ini sekitar Rp 5,10 triliun, naik tipis dari estimasi revenue tahun lalu, Rp 4,97 triliun. Dus, laba bersih diramal stagnan di kisaran Rp 1,498 triliun. Sedangkan, perhitungan Robert, pendapatan SCMA mencapai Rp 5,30 triliun, dengan laba Rp 1,77 triliun. Pertumbuhan kinerja akan menyokong harga saham.

Robert merekomendasikan beli saham SCMA, dengan target harga tahun ini di Rp 2.270. Sedangkan, Christine menyarankan hold dengan target Rp 2.100 per saham.

MNCN: Bisnis Digital Mulai Unjuk Gigi  

Kemahiran menjaga pangsa pemirsa dan diversifikasi sumber pendapatan akan jadi penentu keberhasilan PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) dalam memoles kinerja di tahun ini.

Sebagai pemilik empat stasiun televisi, MNCN masih menjadi penguasa pasar iklan televisi. Tapi, media televisi menghadapi tantangan pergeseran iklan ke digital. Makanya, perusahaan milik Harry Tanoesoedibjo ini gencar mendiversifikasi usaha ke ranah digital.

Di bisnis digital, selain mengoperasikan media daring seperti Okezone dan Sindonews, MNCN  kini gencar memproduksi konten lokal. Melalui jualan konten kepada pihak ketiga, perusahaan ini membidik pertumbuhan pendapatan lebih besar, sebagai antisipasi penurunan iklan di televisi.

Christine Natasya, analis Mirae Asset Sekuritas melihat, MNCN terbilang cukup siap mengantisipasi pergeseran tren iklan. Emiten ini telah mengembangkan sejumlah bisnis digital, yang kontribusinya mulai nampak signifikan.

Sepanjang kuartal IV 2018, MNCN mengindikasikan pendapatan bersih tumbuh 14,5% year on year (yoy) menjadi Rp 1,91 triliun dan naik 4% month on month (mom). Pertumbuhan di kuartal terakhir ini  mendorong pendapatan bersih kumulatif 2018 menjadi Rp 7,4 triliun. 

Catatan Christine, pertumbuhan itu didukung pendapatan digital yang melonjak 522% yoy menjadi Rp 154,2 miliar. Selain juga pendapatan iklan yang naik 2%. Pendapatan bisnis digital terutama berasal dari produksi konten pendek untuk pihak ketiga dan lisensi untuk platform digital, seperti Hooq dan Iflix. Di samping itu, MNCN juga menghasilkan pendapatan iklan dari portal berita.

Pendapatan dari bisnis digital juga mendorong peningkatan margin kotor dari 59% pada triwulan III 2018 menjadi 70% pada triwulan IV 2018. Biaya sekali produksi konten lebih efisien, sebab bisa dijual ke platform digital. “Dengan lonjakan pendapatan digital ini dan potensi bisnis tersebut yang besar, akan menjamin penilaian lebih tinggi bagi perusahaan,” kata Christine.

Meski gencar mendiversifikasi usaha, toh, sumber utama pundipundi MNCN masih mengandalkan iklan di televisi. Nah, kans meraih pengiklan cukup terbuka, sepanjang mampu menjaga pangsa pemirsa alias audience share.

Ciptadana Sekuritas Asia mencatat, MNCN meraih pangsa pemirsa sepanjang masa sebesar 33,9% per Januari 2019, naik 160 bps dibanding bulan sebelumnya. Perolehan itu mengungguli pangsa pemirsa kompetitor utamanya, yakni SCMA yang stagnan di level 31,8%.

Kenaikan audience share MNCN terutama didorong peningkatan signifikan pada pangsa pemirsa primetime. Menurut Robert Sebastian, analis Ciptadana Sekuritas Asia, emiten ini terus berkreasi lewat berbagai program dan sinetron baru demi menyaingi kompetitor.  

Bisnis komplit

Kepala Riset Narada Asset Management Kiswoyo Adi Joe melihat, emiten grup MNC mahir mengelola beragam kanal media dan program yang dimiliki. Empat stasiun televisinya punya positioning tersendiri. RCTI fokus dengan program sinetron, MNC TV dengan film drama bernuansa lokal. Lalu, GTV kuat di program kuis, reality show atau program anak. Adapun, iNews fokus pada siaran berita. Apalagi, beberapa program televisi kini masuk saluran online.

Dengan rating yang bagus, MNCN bisa ikut menikmati rezeki di tahun politik.  Terlebih, pemerintah menerapkan kebijakan populis, termasuk dana bantuan sosial. Peningkatan daya beli konsumen dimanfaatkan perusahaan fast moving consumer goods (FMCG) untuk memacu penjualan. Maka, belanja iklan di televisi ikut naik. “Jika rating konsisten, dengan sendirinya pengiklan masuk,” kata Robert.

Ada pula potensi dari iklan kampanye. Meski penayangan iklan cukup singkat, namun peluang MNCN besar, lantaran punya saluran radio dan surat kabar juga.  Dalam catatan KONTAN, pemilik MNC Group Harry Tanoe optimistis pertumbuhan pendapatan tahun ini bisa mencapai 7%–10%.

Tapi, MNCN masih menghadapi tantangan utang. Ini bisa menekan kinerja, apalagi jika kurs rupiah bergejolak. Maklum, emiten ini masih memiliki utang valas sebesar US$ 246,25 juta per September 2018.

Di kuartal III 2018, beban keuangan perusahaan ini melonjak 48% yoy menjadi Rp 243,55 miliar.  Kenaikan beban dan kerugian kurs menekan perolehan laba sehingga turun 11,82% yoy.

Kiswoyo menyebut, beban utang yang besar imbas dari ekspansi. “Asalkan bisa menjaga bisnis dengan baik, kalau utang sudah lunas, tidak ada masalah bagi MNCN. Bisnisnya komplit,”  tutur dia.

Menurut Christine, beban utang bisa tertutup kalau pendapatan tumbuh signifikan. Nah, hitungan dia, pendapatan MNCN di tahun ini sekitar Rp 7,71 triliun, dengan asumsi pendapatan tahun lalu, Rp 7,37 triliun. Dus, laba bersih berpeluang naik menjadi Rp 1,67 triliun dari Rp 1,32 triliun.

Christine menyarankan hold saham MNCN dengan target harga Rp 940.  Konsensus analis yang dihimpun Bloomberg, rata-rata harga dalam 12 bulan ke depan Rp 1.152 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini