JAKARTA. Terbitnya Surat Edaran (SE) Presiden Joko Widodo (Jokowi) bernomor 12/Seskab/XI/2014 tertanggal 4 November 2014 yang berisi larangan menteri untuk melakukan rapat dengan DPR selama parlemen masih berkonflik menimbulkan polemik baru. Kebijakan Jokowi ini disinyalir dapat mengganggu program pemerintah sendiri, terutama terkait pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2015 dan penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Pembahasan sudah pasti akan molor. Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Beny K. Harman menyayangkan langkah Jokowi ini dan mendesak agar SE tersebut dicabut. Pasalnya, dengan adanya perintah presiden ini, maka banyak menteri yang mangkir dari undangan DPR dan menyebabkan parlemen belum bisa bekerja maksimal.
Menurutnya, fungsi pengawasan dan legislasi menjadi tak berjalan jika presiden semena-mena melarang menterinya untuk tidak memenuhi undangan parlemen. Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo menyesalkan adanya SE dari Jokowi ini. Menurutnya, konflik internal di tubuh DPR sebenarnya telah berakhir setelah Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) berkomitmen untuk bersatu. Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah menambahkan jika KIH telah menyetor nama-nama anggotanya untuk masuk dalam komisi dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) sehingga DPR sudah bisa bekerja maksimal. Sejumlah pekerjaan dipastikan bakal terbengkalai jika hubungan antara DPR dan pemerintah memanas, salah satu yang paling mendesak adalah membahas RAPBN-P 2015 untuk menjalankan program-program unggulan pemerintah.