KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mengenang seabad Petrus Kanisius Ojong (PK Ojong) memberikan kesan mendalam, bukan hanya bagi keluarga besar Kompas Gramedia. Sosok Ojong wajib diteladani setiap orang yang rindu ketegasan, keberanian dan tanggung jawab. Ojong memiliki tiga sisi wajah: jurnalis, cendekiawan dan usahawan. PETRUS Kanisius Ojong adalah satu dari dua sosok sentral, bersama Jakob Oetama, yang berada di balik eksistensi Grup Kompas Gramedia hingga kini. Ada makna tersendiri bagi keluarga besar Kompas Gramedia dalam mengenang
Seabad PK Ojong (25 Juli 1920-31 Mei 1980). Meski PK Ojong telah wafat empat dekade lalu, Presiden Komisaris Kompas Gramedia Jakob Oetama selalu ingin "menghadirkan" sosok sahabatnya itu dalam setiap perkembangan bisnis Kompas Gramedia.
Ucapan yang menggambarkan betapa Jakob merasa sangat dekat dengan Ojong adalah ketika meresmikan Tower PK Ojong-Jakob Oetama di Universitas Multimedia Nusantara pada 27 September 2017. "Saya dan PK Ojong tidak terpisahkan," ucap Jacob seperti dikutip
Kompas.com, saat itu. PK Ojong lahir tepat 25 Juli seabad lalu, dengan nama Peng Koen Auw Jong di Bukittinggi, Sumatra Barat. Ojong adalah anak dari pernikahan kedua ayahnya, Auw Jong Paw, dengan ibunda Njo Loan Eng Nio. Darah bisnis PK Ojong mengalir dari sang ayah, Auw Jong Paw, yang merantau dari Taiwan ke Payakumbuh, Sumatra Barat. Jong Paw membuka perdagangan tembakau di Payakumbuh. Sebelum menjadi jurnalis pada 1940-an, PK Ojong adalah seorang guru. Pada 1946 - 1951, dia menjadi anggota redaksi surat kabar harian Keng Po dan mingguan Star Weekly.
CEO KG mengenang sosok PK Ojong
PK Ojong juga turut mendirikan majalah Intisari dan memimpin majalah itu pada 1963. Dua tahun kemudian, Ojong bersama Jakob Oetama mendirikan harian Kompas dan sempat menjadi pemimpin umumnya. CEO Kompas Gramedia Lilik Oetama menyatakan, PK Ojong dan Jakob Oetama adalah teladan bagi keluarga besar Kompas Gramedia. "Dari pak Ojong, kita belajar banyak bagaimana kesederhanaan beliau, kerja keras dan rajin menabung," kata Lilik kepada KONTAN, kemarin. Eksistensi KG hingga berkembang seperti sekarang, salah satunya berkat jasa PK Ojong memaksimalkan modal dan hasil usaha. "Dana dari usaha yang kita dapat bukan hanya dihabiskan atau dibagikan, tapi juga ditabung untuk membuat usaha baru. Waktu itu tujuannya untuk membuka lapangan kerja yang besar karena banyak pengangguran," ungkap Lilik.
Hal serupa dikemukakan Redaktur Senior Kompas, Rikard Bagun. Meski tak pernah berinteraksi langsung dengan PK Ojong, dia bilang, nilai-nilai yang dianut pendiri KG ini layak dipertahankan hingga masa mendatang. Rikard meneladani sosok PK Ojong yang tidak pernah memaksakan sesuatu lewat kata-kata, tetapi lewat keteladanan. "Bapak Ojong itu terkesan paradoks, beliau dikagumi, disegani, berwibawa, bahkan juga bisa ditakuti," ungkap Rikard saat Bincang KG secara virtual, Rabu (22/7). PK Ojong dinilai sosok tegas, keras dan disiplin terhadap diri sendiri. Di sisi lain, beliau juga sangat peduli terhadap satu sama lain.
Perdebatan 3 jam di dalam mobil
Lewat cerita dari generasi awal, pada masa itu PK Ojong rela mengantar karyawan dengan mobilnya, khususnya jika sudah jam malam. Ini adalah sikap yang memberikan kenangan tersendiri untuk memperkuat nilai-nilai solidaritas dan pengorbanan. Budiman Tanuredjo,
VP National News KG Media, menilai sosok PK Ojong harus dilihat dari tiga sisi yakni sebagai wartawan, cendekiawan dan usahawan. "Inilah wajah yang saya lihat bagaimana memahami sosok Pak Ojong, mulai dari Kompas lahir hingga kemudian pak Ojong berpulang," ujar dia. Menurut Budiman, sosok PK Ojong sebagai wartawan tidak bisa terlepas dari rubrik Kompasiana yang jika dianalisis isi kontennya lebih menyoroti soal hukum dan keadilan, menggunakan gaya bahasa lugas dan konfrontatif, juga menggugah humanisme. Sikapnya yang tak hanya berpikir tentang kebenaran tetapi menyuarakan lewat Kompasiana membuat sosok PK Ojong layak disebut cendekiawan. Dia bertindak dengan menyatakan pikiran ke khalayak lewat tulisannya.
Selain sebagai wartawan dan cendekiawan, sikap Ojong sebagai usahawan tercermin dalam keputusannya yang tak mengedepankan ego. Ojong memilih berhenti menulis daripada kehidupan surat kabar terancam. Dua minggu diberedel pada 1978, pendiri Kompas dihadapkan sejumlah syarat agar bisa hidup kembali. Ojong dan Jakob harus menandatangani surat dari pemerintah.
Budiman menceritakan, sempat terjadi perdebatan di dalam mobil selama tiga jam antara Ojong dan Jakob perihal keputusan menandatangani syarat agar Kompas terbit kembali. Posisi PK Ojong saat itu tidak memilih meneken surat tersebut, sebab mati sekarang dan mati nanti sama saja. Namun Jakob menegaskan jika sudah menjadi mayat tidak bisa diajak berjuang, padahal bangsa masih membutuhkan alat untuk berjuang. Perdebatan antara Ojong dan Jakob bukan untuk mengambil posisi siapa yang menang, melainkan silang pendapat antara sahabat untuk kebaikan bersama.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Hasbi Maulana