Sebagian produsen onderdil tak akan kena efek LLGC



Jakarta. Menciptakan efek domino bagi industri otomotif dalam negeri. Itulah harapan pemerintah yang mewarnai kelahiran aturan produksi mobil low cost green car (LCGC). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 dan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33 Tahun 2013, pemerintah mewajibkan para produsen mobil LCGC membeli komponen otomotif buatan dalam negeri.Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemperin) pun telah menyusun jadwal produksi lokal komponen dalam negeri bagi kurang lebih 105 grup produsen komponen. Para produsen komponen tersebut dibedakan dalam lima skala produksi.Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Budi Darmadi dalam pernyataan tertulis menyebut program LCGC mendatangkan komitmen investasi US$ 3,5 miliar dari 100 industri komponen otomotif baru. Para produsen otomotif tersebut mengejar obsesi pemenuhan komponen atau onderdil lokal 80% tadi. Andai sebuah mobil membutuhkan kira-kira 10.000 komponen, maka 8.000 komponen di antaranya seharusnya hasil produksi di dalam negeri.Obsesi pemerintah bakal diterjemahkan secara bertahap. Sebagai langkah awal, pemerintah masih memperbolehkan produsen mobil LCGC hanya mengalokasikan 40% komponen lokal. Pada tahun ketiga, pemerintah memasang target kandungan lokal sebanyak 60% total komponen. Baru tahun kelima target 80% terpenuhi.Agar mandat menggunakan komponen lokal benar-benar dipatuhi produsen mobil LCGC, pemerintah akan berpegang pada Peraturan Menperin Nomor 57 Tahun 2006. Ini beleid tentang penunjukan surveyor sebagai pelaksana verifikasi capaian tingkat komponen dalam negeri (TKDN) atas barang atau jasa produksi dalam negeri. “Ini juga mendorong peningkatan kualitas tenaga kerja terampil seperti dalam bidang teknik otomotif dan material, manajemen produksi dan jasa distribusi serta manajemen logistik,” beber Budi.Yulian Warman, Kepala Hubungan Publik PT Astra International Tbk, berusaha meyakinkan bahwa produsen siap menjalankan arahan pemerintah. Yulian mengungkapkan, desain dua produk LCGC Astra, Toyota Agya dan Daihatsu Ayla, dibikin orang Indonesia. Khusus pembuatan Daihatsu Ayla, pabriknya bahkan melibatkan 165 industri kecil menengah dengan total 500.000 pekerja.Malah, Yulian berani mengklaim porsi komponen lokal dalam dua produk LCGC Astra sudah mencapai 84%. Dari 84% komponen lokal tersebut, sekitar 50% akan dikerjakan oleh industri komponen otomotif Indonesia setingkat industri kecil menengah. Sisanya menjadi jatah bagi PT Astra Otopart Tbk, anak usaha Astra yang khusus bergerak di bidang komponen kendaraan.Dikuasai jaringan bisnis besar?PT Selamat Sempurna Tbk. adalah salah satu perusahaan yang ikut memasok komponen berupa fi lter dan radiator bagi dua agen tunggal pemegang merek (ATPM) yang memproduksi mobil LCGC, persisnya kepada PT Suzuki Motor Indonesia. September ini Selamat bakal memproduksi 1.000 unit radiator untuk LCGC.Lantaran sudah biasa memproduksi komponen original equipment manufacturer (OEM) bagi ATPM, Selamat Sempurna tak sulit mendapatkan kenduri order komponen LCGC. “Kami diundang oleh ATPM, tetapi tetap melalui proses audit,” tutur Direktur Keuangan PT Selamat Sempurna Tbk Ang Andri Pribadi.Namun Selamat Sempurna tak berniat ngoyo meraup rezeki dari LCGC. Sebab fokus utama perusahaan yang sudah mencatatkan diri di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini adalah pasar ekspor. Porsi ekspor untuk dua jenis komponen bikinan mereka sudah lebih dari 70%. Alhasil kontribusi pendapatan dari memproduksi komponen LCGC tak akan lebih dari 1% dari total pendapatan.Namun kemulusan Selamat Sempurna memperoleh order sebagai pemasok onderdil bagi ATPM tak dialami semua produsen onderdil lokal. Setidaknya, cerita pilu ini dialami PT Galih Ayom Paramesti dan PT Gandeng Toolsindo. Karena skala mereka kecil, kedua perusahaan ini hanya “berhasil” mendapatkan order sebagai sub-kontraktor.Jadi, baik Galih Ayom maupun Gandeng Toolsindo tidak berhubungan langsung dengan ATPM, melainkan melalui perusahaan produsen onderdil lain yang lebih besar. “Perusahaan multinasional memang hanya ingin bekerjasama dengan perusahaan yang besar,” keluh Ignatius Sumardi, pemilik PT Galih Ayom Paramesti.Untuk memperoleh order sebagai sub-kontraktor tidak mudah. Mereka harus lolos uji coba produksi. Dalam proses tersebut, hanya perusahaan yang bisa memproduksi komponen sesuai ketentuan OEM ATPM dengan harga paling murah yang bakal kebagian order.Galih Ayom sendiri sudah melalui proses uji coba produksi sejak setengah tahun lalu. Perusahaan ini memasok komponen bagian dari rem ke PT Akebono Brake Astra Indonesia, anak usaha Astra Otoparts. Dalam waktu dekat Galih Ayom bakal memproduksi 10.000 komponen bagian rem.Adapun Gandeng Toolsindo baru saja memproduksi komponen yang terkait bagian bodi kendaraan. Pesanan sudah masuk sejak tahun lalu. “Karena cukup sekali produksi, tahun ini kami tidak ikut lagi,” terang Direktur Utama PT Gandeng Toolsindo Wan Fauzi.Fauzi mengatakan, industri otomotif dalam negeri sebenarnya hanya dikuasai oleh para ATPM besar yang notabene memiliki jaringan bisnis terintegrasi dari berbagai lini. Ini yang menyebabkan produsen komponen lokal dengan skala tak besar atau IKM sulit berkembang dengan baik.Ketua Koperasi Industri Komponen Otomotif (KIKO) M. Kosasih bilang, produsen komponen IKM lokal menghadapi tantangan baik untuk jenis onderdil OEM maupun after sales service.Untuk OEM, produsen IKM harus bersaing dengan jaringan bisnis kuat ATPM. “Ibaratnya kami hanya mendapat sisa-sisa yang tak lagi bisa digarap jaringan ATPM, lalu dilempar ke kami,” beber Kosasih.Lantas untuk onderdil after sales service, banjir onderdil impor tak terbendung. Antara lain dari China, Taiwan, Thailand, dan Jepang. Makin pahit karena produk-produk impor tersebut beredar di pasaran dengan harga lebih murah.Sekadar informasi, OEM adalah onderdil yang diproduksi sesuai spesifikasi pemesan atau pembeli dan dijual tanpa merek karena nanti akan diberi merek oleh perusahaan pembeli tersebut. Sementara, onderdil after sales service dijual bebas di pasaran.Lokal kalah bersaingDi sisi lain para produsen komponen lokal skala kecil dan menengah mengakui bahwa performa mereka memang masih jauh dari menggembirakan. Ada dua kekurangan yang menyebabkan produk komponen lokal masih kalah bersaing dengan produk impor.Pertama, dari sisi internal, produsen komponen lokal masih terkendala perihal material, machine, method, dan man. Soal material atau bahan baku, 90% bahan baku, termasuk baja lapis, masih impor. Meski pa-sokan baja saat ini lancar, tapi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) yang melemah mempengaruhi tingkat efisiensi harga produksi. Sayangnya, baja produksi dalam negeri belum bisa diadaptasi untuk industri otomotif.Dari sisi machine, method, dan man, produksi onderdil dalam negeri belum bisa memproduksi semua jenis komponen. Komponen yang masih sulit diproduksi berkaitan dengan komponen elektronik dan kontrol unit. Selain menuntut teknologi yang canggih, agar mampu memproduksi komponen jenis tersebut, pengusaha harus mau menanam modal gede untuk membangun pabrik. Modal besar tersebut tentu di luar kemampuan produsen lokal skala kecil menengah. “Akibatnya, paling banter itu komponen lokal baru memenuhi 20% kebutuhan komponen dalam negeri,” kata Kosasih.Kedua, faktor eksternal. Para produsen komponen lokal tak melihat peran pemerintah memajukan industri komponen dalam negeri. Dalam konteks mobil LCGC saja, pemerintah tak tampak benar-benar memberikan porsi bagi keterlibatan produsen komponen lokal. Salah satu masukan dari para produsen lokal kecil adalah pemerintah membatasi impor komponen yang sudah bisa diproduksi di dalam negeri.Tanpa ada terobosan yang benar-benar memihak produsen dalam negeri, para produsen komponen lokal skala kecil menengah tetap pesimistis pada masa depan usaha mereka.Maraknya LCGC nanti mereka anggap hanya akan dinikmati oleh ATPM dan jaringan bisnis mereka.Produsen onderdil kecil tak merasa sebagai kartu domino yang bakal ikut kena efek.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 51 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Imanuel Alexander