KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terus menggenjot bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam ketenagalistrikan. Untuk itu, setidaknya akan ada 21 proyek pembangkit listrik EBT yang rencananya akan menandatangani perjanjian jual beli kontrak jual beli atau
Power Purchase Agreement (PPA) tahun 2019 ini. Direktur Aneka Energi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Harris mengungkapkan, dari total rencana tersebut, 9 proyek merupakan lanjutan dari tahun 2018. Sedangkan 12 proyek diantaranya merupakan proyek baru. Harris menjelaskan, proyek lanjutan merupakan proyek yang persetujuan jual beli telah dilakukan sebelum tahun 2019, namun belum menandatangani PPA. Khusus untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mini Hidro (PLTM), sambung Harris, proyek lanjutan adalah proyek yang telah mendapatkan Penetapan Pengelolaan Tenaga Air (PPTA).
Sementara, proyek baru adalah proyek yang proses persetujuan jual belinya dilakukan pada tahun 2019. Adapun, proses PPA dilakukan ketika pengembang sudah siap dan memenuhi persyaratan. "Ini info awal. Proses PPA tergantung kesiapan pengembangnya. Jadi kemajuan PPA akan berbeda-beda," ungkapnya saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (28/4). Harris menyampaikan, total kapasitas dari 21 proyek yang direncanakan PPA tahun ini mencapai 795,12 MW. Dengan rincian 300,33 MW dari proyek lanjutan, dan sebesar 494,79 ME dari proyek baru. Lebih lanjut, menurut Direktur Bisnis Regional Jawa bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara PLN Djoko Raharjo Abumanan, secara jumlah proyek PLTM masih akan mendominasi pembangkit EBT yang akan PPA tahun ini. "Masih peluang PLTM, sesuai tingkat
maturity pengembangan dan (potensi) alam di Indonesia," ungkapnya. Namun demikian, Djoko menegaskan bahwa pihaknya saat ini masih melakukan proses pengadaan. Sehingga, jumlahnya masih bisa berubah tergantung kesiapan pengembang dan hasil evaluasi dari PLN Pusat dan unit. Djoko pun bilang, dalam PPA kali ini pihaknya akan lebih selektif untuk melihat kemampuan pengembang. "Masih proses pengadaan di PLN pusat dan di unit, jumlahnya masih senantiasa update. Insha Allah banyak, semua tergantung pengembang yang PPA kita lihat dengan lebih hati-hati," ujar Djoko. Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential and Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengingatkan, jumlah proyek yang menandatangani PPA tidak lah terlalu signifikan jika tidak dibarengi kelayakan proyek untuk masuk ke tahap selanjutnya. Sebab, untuk bisa beroperasi menjadi kapasitas terpasang, proyek tersebut harus terlebih dahulu masuk ke fase penyelesaian syarat pendanaan atau
Financial Close (FS) dan menyelesaikan tahap konstruksi. Sedangkan untuk mencapai ke tahap itu, proyek yang sudah PPA harus menarik dan layak secara investasi. Selain kualitas proyek itu sendiri, sambung Fabby, Kelayakan proyek tersebut ditentukan oleh sejumlah faktor seperti pembagian resiko antara PLN dan pengembang serta ketentuan-ketentuan dalam PPA. Selain itu, Fabby menekankan bahwa regulasi juga menjadi faktor kunci. Menurutnya, Ketentuan harga dalam Permen ESDM Nomor 50 tahun 2017 dan ketentuan PPA dalam PErmen ESDM Nomor 10 tahun 2017 sangat menentukan kelayakan finansial proyek untuk menarik investor. Belum lagi, lanjutnya, skema
build,
own,
operate and
transfer (BOOT) dalam Permen ESDM Nomor 50/2017 yang membuat investasi menjadi kurang menarik. "Kedua aturan ini punya dampak terhadap
bankability proyek. Jadi perlu kiranya membuat alokasi resiko yang berimbang (di dalam regulasi)," ungkapnya.
Apalagi, berkaca pada proyek EBT yang PPA tahun 2017, hingga kini masih ada setidaknya 15 proyek EBT yang terancam putus kontrak atau terminasi akibat belum juga menuntaskan pendanaan. "Jadi PPA kan baru awal, ada tahap menuju FC sebelum konstruksi, pengalaman (PPA tahun 2017) kan dari 70 proyek tidak semua bsia konstruksi. Kalau PPA-nya
bankable, proses FC bisa lebih cepat," ungkap Fabby. Tak jauh beda, Ketua Asosiasi Perusahaan Pengembang Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni juga menyoroti persoalan regulasi. Seperti pembangkit kecil skala di bawah 10 MW yang menurutnya lebih baik dikembalikan pada sistem penunjukan langsung kecuali pada lokasi yang peminatnya banyak. Juga klausul BOOT yang dinilainya lebih baik dihilangkan. "Jadi format PPA sebaiknya lebih
fair, Ini agar investor kecil bisa berminat dan mudah memperoleh pinjaman bank," tandas Riza. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi