KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di dalam draft Dokumen Investasi dan Kebijakan Komprehensif atau comprehensive investment and policy plan (CIPP) tercantum 52 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang masuk ke dalam proyek prioritas mendapatkan pendanaan dari skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Total kapasitas dari 52 proyek tersebut sebesar 2,094.7 MegaWatt (MW) atau setara 2,09 GW dengan estimasi investasi US$ 2,38 miliar. Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menjelaskan, bauran energi baru terbarukan (EBT) yang dicanangkan dalam skenario JETP ialah 44% pada 2030. Dari bauran tersebut, ada dua tipe energi terbarukan yang banyak masuk dalam draf CIPP JETP yakni proyek pembangkit tenaga air dan panas bumi sebagai baseload.
Baca Juga: Pembangunan PLTS IKN Dimulai, Bisa Produksi Energi Hijau 93 GWh Per Tahun “Tetapi ada varibel renewable energy khususnya PLTS cukup besar untuk mencapai target bauran EBT 2030,” ujarnya kepada Kontan.co.id Minggu (5/11). Proyek-proyek yang akan didanai oleh JETP, lanjut Fabby, tentu harus masuk di dalam Rencapa Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN). Di dalam draf CIPP, ada beberapa proyek PLTS yang belum masuk ke dalam RUTPL. Fabby menjelaskan, proyek yang belum masuk tersebut nantinya akan dimasukkan ke dalam revisi RUPTL 2021-2030. Jika sudah masuk ke dalam RUPTL, proyek-proyek PLTS akan dilelang baik itu kepada perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP), maupun dalam bentuk penugasan kepada anak perusahaan PT PLN. Sejatinya ada sejumlah instrumen di dalam pendanaan JETP yang dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan proyek tersebut. Instrumen itu mencakup hibah, pinjaman lunak (consessional loans), pinjaman dengan suku bunga pasar (market-rate loans), jaminan (guarantee), batuan teknis (techinal assistants/TA), dan pendanaan komersial melalui GFANZ.
Baca Juga: Hari Ketiga di IKN, Jokowi Diagendakan Groundbreaking Kantor BI hingga PLTS Melansir draf CIPP, mobilisasi dana JETP sebesar US$ 20 miliar selama tiga sampai lima tahun dilakukan melalui kemitraan. Di mana US$ 10 miliar akan bersumber dari anggota International Partners Group (IPG), kemudian US$ 10 mliar akan dimobilisasi Kelompok Kerja GFANZ lewat pendanaan swasta. Adapun supaya dana tersebut cair ke proyek, Fabby menyatakan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah. Fabby mengingatkan, untuk bisa mendapatkan dana JETP, tentu proyek PLTS harus bankable atau memenuhi kriteria pendanaan. Oleh karenanya, AESI mengingatkan agar pemerintah segera melakukan reformasi kebijakan terkait Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), mekanisme lelang, dan perjanjian pembelian tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA) yang bankable. “JETP memberikan semacam janji itu alokasi investasi. Tetapi kita harus ingat uang itu tidak serta merta akan diberikan kepada proyek itu, tetapi memenuhi persyaratan bankability yang ditetapan peminjam (lender),” terangnya. Di dalam draf CIPP, ada sejumlah rekomendasi kebijakan yang harus dibenahi salah satunya TKDN. Fabby memaparkan pemberi pinjaman (lender) internasional tidak bisa mendanai proyek karena terganjal syarat TKDN. Aturan ini membuat proyek tidak kompetitif. Untuk memenuhi syarat pendanaan komersial internasional, proyek modul surya harus menggunakan panel surya Tier 1. Sebagai informasi, peringkat Tier ini dikembangkan oleh Bloomber New Energy Finance Corporation untuk menilai produsen panel surya dari sisi keandalan dan konsistensi produsen. Sampai hari ini belum ada produsen modul surya Tier 1 yang beroperasi komersial di Indonesia. Proyek pabrik panel dan sel surya milik Trina Solar (salah saru perusahaan Tier 1) baru saja melakukan Ground Breaking dan diproyeksikan baru beroperasi komersial pada kuartal II atau kuartal III 2024. Sedangkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merelaksasi aturan TKDN dari sebelumnya 60% menjadi 40% sampai akhir 2024 dengan asumsi ada pabrik panel dan sel surya akan produksi komersial diperkirakan di tahun depan. “Kita boleh saja punya aturan TKDN tetapi harus merfleksikan kesiapan industri dalam negeri. Kalau dipaksa TKDN tinggi, tetapi dan industri dan eksosistem pendukung industri modul surya belum lengkap di dalam negeri, akan sulit mencapai tingkat TKDN yang dipersyaratkan,” tegasnya. Fabby memaparkan, sampai hari ini sejumlah proyek modul surya dalam negeri belum memenuhi standar kelayakan keuangan internasional. Pihak lenders enggan menggunakan produk Indonesia yang tidak sesuai standar mereka. Dia menyatakan, jika pemerintah tidak membereskan peraturan dan kebijakan yang ada, tentu dana JETP tidak bisa cair karena proyek tidak memenuhi persyaratan komersial.
Selain reformasi kebijakan, Fabby menyarankan supaya pemerintah segera menyelesaikan Rancangan Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan RUPTL sehingga di awal atau pertengahan 2024 PLN sudah bisa melakukan lelang. “Lelang juga jangan kecil-kecil proyeknya, kalau bisa 1 GW sampai 2 GW langsung untuk beberapa lokasi,” ujarnya. AESI optimistis, jika seluruh pekerjaan rumah tadi sudah dibenahi, dalam dua tahun ke depan dana JETP akan mulai mengucur ke proyek-proyek yang ada di dalam daftar prioritas. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi