KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan mencatat sebanyak 65 dari 102
fintech peer-to-peer (P2P)
lending yang mengantongi izin dari OJK masih mengalami kerugian secara akumulatif pada November 2022. Anggota Dewan Komisioner sekaligus Ketua Dewan Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono sebelumnya pernah menyampaikan bahwa 65 perusahaan
fintech lending terpantau masih mengalami kerugian secara akumulatif. Sisanya, sebanyak 37 perusahaan fintech sudah menikmati laba. Adapun, OJK mempublikasikan laporannya pada 3 Januari 2023 dengan menyuguhkan data Statistik Fintech Lending periode November 2022, di mana rugi setelah pajak penyelenggara
fintech lending mencapai Rp 124,34 miliar.
Pengamat ekonomi pun menanggapi tren
fintech P2P lending yang masih mengalami kerugian ini. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyatakan, penyebab
fintech lending masih merugi ini lantaran terlalu agresif salurkan pinjaman personal, dengan manajemen risiko dan seleksi peminjam yang kurang baik.
Baca Juga: Tutup Tahun 2022, Akseleran Tumbuh 55% “Begitu ada tekanan daya beli, inflasi dan kenaikan suku bunga maka efeknya langsung ke kredit macet,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Jumat (13/1). Bhima menuturkan, edukasi ke calon peminjam juga masih rendah sehingga berpengaruh ke tingkat pengembalian. Masa pandemi kemarin, banyak yang hanya coba-coba meminjam ke
fintech karena proses mudah, padahal bukan untuk pinjaman produktif. Akhirnya tidak bisa kembalikan uang, bunga dan denda keterlambatan. “Jumlah perusahaan
fintech lending juga terlalu banyak, idealnya dikurangi secara signifikan sehingga pengawasan dari OJK jadi lebih optimal,” kata Bhima. Bhima menyatakan, pengawasan perlu diperketat oleh OJK, fokus penyaluran pembiayaan ke sektor produktif dan seleksi calon peminjam dengan kriteria lebih ketat. “Ekonomi ke depan masih penuh tantangan, jadi harus
prudent dalam menyalurkan pinjaman,” pungkasnya. Di sisi lain, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah menilai, perusahaan-perusahaan
fintech P2P lending pada umumnya masih mengalami kerugian terutama karena belum tercapainya skala ekonomi yang dibutuhkan untuk bisa
Break Even Point (BEP). Perusahaan-perusahaan tersebut adalah perusahaan rintisan, dengan pasar yang masih sangat terbatas (literasi yang rendah) dan persaingan yang ketat. Sehingga, untuk mendapatkan jumlah nasabah dan nilai pembiayaan yang mencukupi menjadi tidak mudah. Sementara penerimaan perusahaan
fintech P2P lending ditentukan oleh jumlah dan nilai pembiayaan tersebut.
Baca Juga: OJK: Sebagian Besar Fintech P2P Lending Masih Merugi Secara Akumulatif Di sisi lain, kata Piter, biaya perusahaan rintisan digital termasuk
fintech P2P lending umumnya sangat besar. Pertama, untuk biaya SDM dan kedua untuk biaya marketing termasuk biaya bakar duit.
“Dengan biaya yang tinggi sementara penerimaan (pasar) yang masih sangat terbatas, sangat wajar kalau perusahaan P2P
lending umumnya masih merugi,” ujar Piter saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (13/1). Untuk bisa menguntungkan perusahaan, Piter menyarankan P2P
lending harus bisa terus meningkatkan jumlah dan nilai pembiayaan. “Hanya itu satu-satunya cara,” pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi