KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan modal inti di bawah Rp 6 miliar untuk memperkuat permodalannya agar kapasitas dalam menjalankan bisnis semakin lebar. Maklum, kini tantangan BPR semakin besar terutama dengan perkembangan teknologi digital dan kehadiran
financial technology (fintech). Menurut data OJK, total BPR saat ini sebanyak 1.597 unit. Dari jumlah itu, baru 52 BPR yang masuk kategori usaha (BPRKU) 3 dengan modal inti Rp 50 miliar ke atas, sebanyak 221 kategori BPRKU 2, dan BPRKU 1 dengan modal inti di bawah Rp 15 miliar mencapai 1.324. Dari BPRKU I tersebut masih terdapat 776 bank dengan modal inti di bawah Rp 6 miliar dan sebanyak 397 bank dengan modal inti di bawah Rp 3 miliar ada 397 bank.
Padahal berdasarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015, bank dengan modal inti di bawah Rp 3 miliar diwajibkan memiliki modal inti Rp 3 miliar pada akhir 2019 ini dan modal inti di atas Rp 3 miliar namun belum mencapai Rp 6 miliar harus menambah modal menjadi Rp 6 miliar. Lalu tahun 2024, seluruh modal inti seluruh bank diwajibkan minimal Rp 6 miliar. Joko Suyanto, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo) menyakini anggotanya yang memiliki modal inti minim masih memiliki waktu untuk mengejar aturan tersebut. "Langkah itu itu bisa dilakukan dengan penguatan dari internal. Kalau mereka tidak sanggup bisa mengundang investor baru atau melakukan merger. Masih ada waktu sampai akhir tahun," katanya di Jakarta Jumat (5/4). Meskipun tidak terpenuhi, Joko bilang, sanksi yang akan dikenakan otoritas bukan menutup operasional BPR terkait melainkan hanya pembatasan wilayah operasional saja. Meskipun tantangan BPR semakin besar, Perbarindo optimistis BPR masih bisa tumbuh dengan strategi-strategi yang telah disiapkan. Terbukti penyaluran kredit maupun penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) BPR masih tumbuh dari tahun ke tahun. Tahun ini, Perbarindo menargetkan kredit bisa tumbuh sekitar 11%-13% dan DPK tumbuh sekitar 12%. Di era teknologi digital saat ini, Joko mengatakan BPR harus bisa melakukan transformasi agar bisa tumbuh. Mengingat investasi teknologi dan SDM sangat besar, menurutnya yang harus dilakukan BPR adalah berkolaborasi dengan pihak lain seperti bank umum, vendor IT dan yang lainnya. Tantangan lain BPR saat ini adalah terkait kualitas asetnya. Rasio
non performing loan (NPL) BPR naik dari tahun ke tahun. Per Januari 2019 rasio NPL BPR tercatat mencapai 6,82%. Joko mengatakan, pihaknya kan terus mendorong perbaikan kualitas aset dengan menargetkan NPL di bawah 5% tahun ini. Dorongan yang akan dilakukan asosiasi terhadap anggotanya untuk menjaga NPL dengan memberikan peningkatan kemampuan terhadap SDM dengan program pelatihan yang terukur dan berjenjan. Tahun ini Perbarindo juga akan menyiapkan sertifikasi profesi untuk pejabat eksekutif BPR. "Ini rencananya akan dimulai semester II-2019," kata Joko. Ayahandayani K, Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan, pihaknya akan terus mendorong BPR untuk bisa memenuhi aturan mengenai modal inti tersebut.
"Kami terus memantau dari sisi pengawasan apakah mereka memenuhi dari internal atau dapat menambah modal, kalau dari internal tidak bisa apakah mereka akan mengundang investor baru, atau kalau mereka satu pemegang saham pengendali mereka lebih baik bergabung," jelasnya. Jika 776 BPR yang memiliki modal inti di bawah Rp 6 miliar belum bisa memenuhi ketentuan permodalan sampai akhir tahun, OJK akan akan membatasi operasi bank terkait. Misalnya tidak bisa lagi melakukan perdagangan valuta asing, tidak bisa melakukan kegiaan terkait ATM dan wilayahnya operasinya akan dibatasi. Ayahandayani menambahkan, untuk mendorong pertumbuhan BPR, OJK telah mengeluarkan aturan baru mengenai kualitas aset dan membuka ruang bagi BPR membuka ATM namun harus mengajukan izin terlebih dahulu ke Bank Indonesia (BI). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi