Secercah harapan di sentra perkebunan kelapa di Minahasa Selatan (bagian 1)



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Minahasa Selatan dikenal sebagai daerah penghasil kelapa terbesar di Indonesia. Setidaknya ada sekitar 46.000 hektare lahan yang ditumbuhi pohon kelapa di daerah tersebut. Inilah yang membuat sebanyak 27.000 petani kelapa menggantung hidup mereka pada komoditas ini.

Namun, sebagian besar petani tersebut hanya sebatas sebagai pembuat kopra untuk mata pencaharian. Kopra berfungsi menjadi bahan baku minyak kelapa.

Biasanya, kelapa yang dipakai adalah yang sudah jatuh ke tanah, karena punya kandungan air sedikit dan tinggal mengeringkan dagingnya saja. Kelapa jatuh ini diklaim punya kandungan minyak yang lebih banyak.

Setelah menjadi kopra, petani langsung menjualnya ke para pengepul. Sayangnya, harga kopra dalam beberapa tahun belakangan ini terus melorot. Kondisi ini membuat banyak petani yang menderita.

Jackel Rembett, petani kelapa di Desa Majaan, Kecamatan Amorang, Minahasa Selatan menjadi saksi terus anjloknya harga kopra di pasaran. "Harga kopra pernah mencapai Rp 10.000 per kilo tapi sekarang cuma Rp 3.000–Rp 4.000 per kilonya," ucapnya lirih kepada KONTAN.

Jackel yang telah menjadi petani kelapa sejak 1997 mengaku tak bisa berbuat banyak terhadap keadaan ini. Apalagi hasil panen kelapa terus menurun karena usia pohon kelapa yang kian menua dan ketiadaan modal.

Kalau biasanya ia bisa memproduksi kopra antara 100 kg–200 kg untuk sekali panen, kini ia mengalami kesulitan untuk bisa menghasilkan kopra hingga 100 kg sekali panen.

Hal serupa juga dialami Alex Sinaulan, petani dari desa yang sama. Dulu, para petani kelapa punya taraf hidup yang jauh lebih baik. "Periode awal 2000-an, setiap pinjam ke bank, langsung bisa lunas saat panen dan bisa menabung. Kini, buat bayar pinjaman dan kebutuhan sehari-hari saja sudah syukur," keluhnya.

Untuk mengatasi hal itu, Alex sampai harus mengolah batok kelapa untuk dijadikan arang kelapa. Ia membakar batok kelapa yang sudah kering di dalam kolam tanah.

Sama seperti kopra, ia menjual arang tersebut ke para pengepul dengan harga Rp 2.500 per kg. Sekali produksi, ia bisa menghasilkan antara 400 kg–500 kg arang. Namun saat harga kopra jatuh, ia jadi kesulitan mendapat bahan baku batok kelapa. Alhasil, ia terpaksa memangkas produksi hingga setengahnya. "Bahan tempurung jadi susah dicari dan kalau pun ada jadi lebih mahal," ujar Alex.

Adapun para pengepul biasanya menjual kembali kopra dan arang kelapa ke perusahaan pengolah kopra atau penjual arang kelapa.

Sejatinya, proses penjualan komoditi tersebut ke pengepul sebenarnya mengurangi keuntungan yang bisa didapat petani. "Kebanyakan para petani tidak mempunyai transportasi untuk mengangkut kopra atau arang kelapa, dan terpaksa menjual ke pengepul," ucapnya.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon