JAKARTA. Posisi kepemilikan Bank Indonesia (BI) pada surat berharga negara (SBN) milik pemerintah berada pada level Rp 0 triliun pada tanggal 21 Oktober 2014. Sebelumnya, posisi SBN milik BI sempat mencapai Rp 118,71 triliun pada akhir Juli 2014. Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat, hilangnya posisi SBN karena BI ingin mendapatkan uang dari hasil jualan SBN. Hal ini diakibatkan permintan dari asing yang cenderung naik. Melihat data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPO), posisi kepemilikan asing pada 31 Juli 2014 tercatat Rp 418,26 triliun. Kemudian pada posisi 29 Agustus naik menjadi Rp 434,2 triliun.
Ketika posisi asing naik pada bulan Agustus, terlihat kepemilikan SBN BI hanya Rp 87 miliar. Selanjutnya ketika asing berada pada posisi Rp 447,37 triliun pada 30 September, tercatat kepemilikan SBN BI Rp 0. Kekosongan SBN BI ini berlanjut pada data terakhir 21 Oktober 2014. Lana menjelaskan, ketika permintaan asing tinggi maka BI perlu melepaskan SBN-nya untuk mengendalikan rupiah. Investor asing datang dengan membawa dolar lalu membeli SBN. Uang yang didapat investor adalah rupiah karena sudah ditukar ketika membeli SBN. Nah, untuk menarik rupiah tadi agar tidak beredar banyak di pasar maka BI perlu melepas SBN. "BI tidak bisa lagi menaikkan suku bunga. Gunakan valas pun perlu dihemat. Maka dari itu BI menggunakan instrumen SBN," ujar Lana ketika dihubungi KONTAN, Kamis (23/10). Menurut Lana, upaya ini adalah upaya yang lumrah dilakukan oleh bank sentral. BI mempunyai tugas menjaga keseimbangan likuiditas sehingga perlu menjual SBN. Tingginya minat asing masuk ke pasar Indonesia membuat BI harus melakukan tugasnya. "Likuiditas masih cukup kuat di global," terang Lana. Direktur Komunikasi BI Peter Jacobs menjelaskan, kepemilikan SBN yang dipunyai BI bukan untuk berinvestasi seperti yang dilakukan bank ataupun lembaga lainnya. Kepemilikan SBN BI digunakan sebagai operasi moneter.