Jakarta. Di pengujung tahun 2013, beberapa investor saham kelas ritel sedang menyusun strategi menghadapi tahun depan. Contohnya, Anton Budiono. Lelaki yang berinvestasi saham sejak 1997 ini akan lebih berhati-hati di tahun depan. “Banyak hal yang menghantui tahun depan,” tutur Anton yang kini tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah.Anton menyebut beberapa isu bagi bursa saham tahun depan: pemilu, inflasi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, utang, dan neraca perdagangan yang defisit. Belum lagi masalah global. “Lebih baik membatasi diri di sektor yang sedang membentuk tren naik,” tutur Anton, lewat surat elektroniknya.Begitu pula pendapat investor saham lainnya, Nursantyo. Pria yang tinggal di Jakarta ini menilai, tahun 2014 akan menjadi tahun yang cukup berat bagi investor saham di Indonesia. Alasannya, kondisi perekonomian Indonesia tidak terlalu baik akibat defisit transaksi berjalan, rupiah masih cenderung melemah, dan suku bunga masih tinggi. “Dari Amerika ada masalah tapering off, dan tahun depan adalah tahun politik,” tutur Nursantyo, yang telah berinvestasi di pasar modal lebih dari empat tahun.Begitulah, sebagian besar investor memandang prospek bursa saham Indonesia tahun depan cukup suram. Dua sentimen yang paling ditunggu tahun depan, yakni isu tapering off di Amerika Serikat (AS) dan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden di dalam negeri.Sebenarnya, masih ada ancaman dari defisit transaksi berjalan. Tapi, “Defisit itu sudah lama terjadi. Itu sudah biasa, walau itu tetap sebuah masalah,” tutur Lana Soelistyaningsih, ekonom Samuel Sekuritas.Sekadar mengingatkan, tapering off adalah kebijakan pengurangan stimulus di AS yang dikenal dengan istilah quantitative easing yang akan diambil oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed) tahun depan. Saat ini, setiap bulan The Fed mengalirkan stimulus ke pasar keuangan dengan cara membeli surat utang pemerintah AS senilai US$ 85 miliar per bulan. Nah, kini The Fed berencana mengurangi nilai pembelian surat utang tersebut.Kebijakan ini akan mengurangi uang yang beredar di AS. Akibatnya, ada potensi kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Dampak lanjutannya, harga obligasi di Amerika akan turun sehingga dana-dana yang sekarang berada di luar Amerika akan kembali ke Amerika untuk menyerbu obligasi.Kebijakan tapering off diperkirakan akan diambil pada bulan Maret 2014, setelah Gubernur The Fed yang baru, Janet Yellen, dilantik pada Februari 2014. Sebelum ini, Yellen berpendapat The Fed perlu mengurangi nilai quantitative easing karena menilai ekonomi AS mulai membaik.Masalahnya, baik investor kelas gurem maupun kakap belum bisa memprediksi nilai pengurangan stimulus tersebut. Sampai saat ini, belum ada kepastian maupun sinyal dari The Fed berapa nilai stimulus yang akan dikurangi. “Apakah akan dikurangi menjadi US$ 40 miliar per bulan seperti sebelum QE3?” kata Lana. Masalah ini boleh jadi baru akan bisa diketahui setelah Yellen dilantik menggantikan Ben Bernanke, yang pensiun Februari 2014.Sama halnya dengan Lana, Kepala Riset Bahana Securities Harry Su memperkirakan, tapering off akan terjadi pada bulan Maret 2014. Jika jadi dilakukan, dana-dana asing yang mengempit saham di Indonesia akan kembali ke AS. Akibatnya, harga saham-saham dan surat utang di Indonesia akan turun.Meskipun begitu, Praska Putrantyo, analis Infovesta Utama, memprediksi, dampak kebijakan tapering off hanya akan terjadi sesaat. Sebab, pada dasarnya The Fed masih mengucurkan stimulus, meski nilainya dikurangi. “Pengaruhnya tidak terlalu besar. Buat pasar saham di Indonesia, dana asing diperkirakan akan keluar untuk profit taking,” tutur Praska.Sedangkan, Lana memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, The Fed bisa saja tidak jadi melakukan tapering off karena kebijakan itu akan mengerek suku bunga kredit perumahan (mortgage rate) AS. Akhir-akhir ini mortgage rate di AS terus naik ke level 5%, mendekati level 6,5% ketika krisis perumahan AS terjadi pada 2008. “Bahaya sekali bagi AS jika mortgage rate naik lagi. Jadi, mungkin ditunda sampai akhir tahun depan,” tutur Lana.Efek pemiluLain halnya pendapat Direktur Utama Ciptadana Securities Fery Budiman Tanja. Ferry menilai, kondisi pasar saham Indonesia tahun depan banyak dipengaruhi oleh faktor domestik, yakni kondisi makro ekonomi yang tidak baik, antara lain cadangan devisa dan neraca berjalan yang defisit. “Faktor global tidak terlalu berpengaruh. Paling isu soal tapering off itu. Namun selebihnya, bursa global justru bagus,” tutur Ferry.Tahun depan, kondisi bursa masih akan seperti tahun 2013 hingga pasar bisa menemukan pendorong positif yang baru. “Entah apa itu, belum kelihatan,” kata Ferry.Apakah katalis tersebut hasil pemilu? “Mungkin dari pemilu bisa memberikan katalis positif jika presiden yang naik nantinya sesuai dengan yang diinginkan pasar,” tutur Ferry.Lantas, siapa sosok presiden yang diinginkan pasar? Dari isu yang berkembang, menurut pelaku pasar lokal maupun asing, kandidat presiden pilihan pasar condong kepada Joko Widodo, yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta. “Pasar ingin orang baru yang dianggap bisa bekerja,” imbuh Lana.Sentimen pemilu selama semester I memang bisa positif, dapat pula negatif. Pasar sahamakan bereaksi negatif jika pemilu dipandang menghasilkan presiden yang dianggap kurang mampu bekerja. Misalnya, jika presiden yang menang merupakan orang lama yang memiliki rekam jejak yang kurang baik selama ini.Sampai saat ini, kata Kepala Riset Mandiri Sekuritas John Rahmat, pasar mengambil sikap menunggu hingga pemilu usai. Di masa ini, pasar akan melihat tipe presiden terpilih. “Jika presiden terpilih dinilai bersahabat, semakin positif pula investor merespon Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dengan begitu, IHSG akan bergerak positif,” jelas John.Nah, setelah pemilu usai, para analis memperkirakan, bursa saham akan kembali tenang. Praska terlihat masih optimis melihat bursa tahun depan selepas pemilu. Praska memperkirakan, guncangan di bursa saham tahun depan hanya akan terjadi selama semester I.Memasuki semester II tahun depan, Praska memprediksi akan ada sedikit perbaikan. Misalnya, inflasi tahun depan akan sedikit melambat sehingga ada ekspektasi penurunan suku bunga 25 basis poin (bps) hingga 50 bps. “Inflasi melambat karena dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah kembali normal,” tutur dia.Begitu halnya proyeksi Lana. Dia perkirakan, akan ada aliran dana asing masuk pada triwulan II, khususnya setelah pemilu legislatif. “Apalagi jika presiden terpilih dianggap bagus, akan lebih deras lagi,” tutur Lana.Pertumbuhan ekonomiSelain pemilu, hantu bursa tahun depan ialah pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah daripada tahun ini. Padahal, semakin tinggi angka pertumbuhan ekonomi, investor akan kian tertarik untuk menanamkan uangnya di Indonesia. “Sayang, ada wacana dari Bank Indonesia yang seakan-akan mau menahan laju pertumbuhan ekonomi,” tutur John.Dengan beragam proyeksi tersebut, beberapa analis memperkirakan, IHSG pada 2014 akan ditopang oleh perbaikan kondisi makro pada semester II, terutama tekanan inflasi yang sudah berkurang. “Saya prediksi IHSG sampai akhir tahun berpotensi mencapai 5.000 jika ada capital inflow pada kuartal II,” tutur Lana.Namun, prediksi moderat Lana adalah pada kisaran 4.800–4.900, lebih tinggi ketimbang IHSG tahun 2013 yang dia perkirakan berakhir di 4.400.Praska lebih optimistis. Ia memprediksi, IHSG pada akhir 2014 akan bisa mencapai 5.230. “IHSG tahun depan masih lebih baik dari 2013 yang diperkirakan hanya 4.500,” tutur Praska.Penggerak IHSG tahun depan tak lain adalah saham-saham di sektor konsumsi, seperti saham dari produsen makanan dan minuman serta saham perusahaan yang berbisnis ritel. Salah satunya, saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), yang antara lain memproduksi pasta gigi. “Tidak mungkin orang menghentikan gosok gigi tahun depan,” tutur Lana.Selain itu, beberapa saham dari sektor manufaktur terkena dampak positif dari perbaikan ekonomi Amerika Serikat dan China tahun depan. Misalnya, saham di sektor manufaktur, seperti tekstil, garmen, dan lain-lain yang berorientasi ekspor. Maklum, porsi ekspor Indonesia ke AS cukup besar. “Perbaikan ekonomi AS akan berdampak positif ke ekonomi China, ekspor Indonesia ke China lebih terbuka lagi,” tutur Lana.Adapun, saham-saham yang akan membuat IHSG loyo ialah saham-saham yang sensitif kepada kenaikan suku bunga, seperti saham bank, saham properti, saham konstruksi, saham semen, dan saham-saham turunannya.Memang banyak sentimen negatif buat bursa. Seperti kata Anton Budiono di awal, sikap terbaik adalah lebih berhati-hati membaca situasi.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 10 - XVIII, 2013 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Segudang isu hantui pergerakan bursa tahun depan
Jakarta. Di pengujung tahun 2013, beberapa investor saham kelas ritel sedang menyusun strategi menghadapi tahun depan. Contohnya, Anton Budiono. Lelaki yang berinvestasi saham sejak 1997 ini akan lebih berhati-hati di tahun depan. “Banyak hal yang menghantui tahun depan,” tutur Anton yang kini tinggal di Purwokerto, Jawa Tengah.Anton menyebut beberapa isu bagi bursa saham tahun depan: pemilu, inflasi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, utang, dan neraca perdagangan yang defisit. Belum lagi masalah global. “Lebih baik membatasi diri di sektor yang sedang membentuk tren naik,” tutur Anton, lewat surat elektroniknya.Begitu pula pendapat investor saham lainnya, Nursantyo. Pria yang tinggal di Jakarta ini menilai, tahun 2014 akan menjadi tahun yang cukup berat bagi investor saham di Indonesia. Alasannya, kondisi perekonomian Indonesia tidak terlalu baik akibat defisit transaksi berjalan, rupiah masih cenderung melemah, dan suku bunga masih tinggi. “Dari Amerika ada masalah tapering off, dan tahun depan adalah tahun politik,” tutur Nursantyo, yang telah berinvestasi di pasar modal lebih dari empat tahun.Begitulah, sebagian besar investor memandang prospek bursa saham Indonesia tahun depan cukup suram. Dua sentimen yang paling ditunggu tahun depan, yakni isu tapering off di Amerika Serikat (AS) dan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden di dalam negeri.Sebenarnya, masih ada ancaman dari defisit transaksi berjalan. Tapi, “Defisit itu sudah lama terjadi. Itu sudah biasa, walau itu tetap sebuah masalah,” tutur Lana Soelistyaningsih, ekonom Samuel Sekuritas.Sekadar mengingatkan, tapering off adalah kebijakan pengurangan stimulus di AS yang dikenal dengan istilah quantitative easing yang akan diambil oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed) tahun depan. Saat ini, setiap bulan The Fed mengalirkan stimulus ke pasar keuangan dengan cara membeli surat utang pemerintah AS senilai US$ 85 miliar per bulan. Nah, kini The Fed berencana mengurangi nilai pembelian surat utang tersebut.Kebijakan ini akan mengurangi uang yang beredar di AS. Akibatnya, ada potensi kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Dampak lanjutannya, harga obligasi di Amerika akan turun sehingga dana-dana yang sekarang berada di luar Amerika akan kembali ke Amerika untuk menyerbu obligasi.Kebijakan tapering off diperkirakan akan diambil pada bulan Maret 2014, setelah Gubernur The Fed yang baru, Janet Yellen, dilantik pada Februari 2014. Sebelum ini, Yellen berpendapat The Fed perlu mengurangi nilai quantitative easing karena menilai ekonomi AS mulai membaik.Masalahnya, baik investor kelas gurem maupun kakap belum bisa memprediksi nilai pengurangan stimulus tersebut. Sampai saat ini, belum ada kepastian maupun sinyal dari The Fed berapa nilai stimulus yang akan dikurangi. “Apakah akan dikurangi menjadi US$ 40 miliar per bulan seperti sebelum QE3?” kata Lana. Masalah ini boleh jadi baru akan bisa diketahui setelah Yellen dilantik menggantikan Ben Bernanke, yang pensiun Februari 2014.Sama halnya dengan Lana, Kepala Riset Bahana Securities Harry Su memperkirakan, tapering off akan terjadi pada bulan Maret 2014. Jika jadi dilakukan, dana-dana asing yang mengempit saham di Indonesia akan kembali ke AS. Akibatnya, harga saham-saham dan surat utang di Indonesia akan turun.Meskipun begitu, Praska Putrantyo, analis Infovesta Utama, memprediksi, dampak kebijakan tapering off hanya akan terjadi sesaat. Sebab, pada dasarnya The Fed masih mengucurkan stimulus, meski nilainya dikurangi. “Pengaruhnya tidak terlalu besar. Buat pasar saham di Indonesia, dana asing diperkirakan akan keluar untuk profit taking,” tutur Praska.Sedangkan, Lana memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, The Fed bisa saja tidak jadi melakukan tapering off karena kebijakan itu akan mengerek suku bunga kredit perumahan (mortgage rate) AS. Akhir-akhir ini mortgage rate di AS terus naik ke level 5%, mendekati level 6,5% ketika krisis perumahan AS terjadi pada 2008. “Bahaya sekali bagi AS jika mortgage rate naik lagi. Jadi, mungkin ditunda sampai akhir tahun depan,” tutur Lana.Efek pemiluLain halnya pendapat Direktur Utama Ciptadana Securities Fery Budiman Tanja. Ferry menilai, kondisi pasar saham Indonesia tahun depan banyak dipengaruhi oleh faktor domestik, yakni kondisi makro ekonomi yang tidak baik, antara lain cadangan devisa dan neraca berjalan yang defisit. “Faktor global tidak terlalu berpengaruh. Paling isu soal tapering off itu. Namun selebihnya, bursa global justru bagus,” tutur Ferry.Tahun depan, kondisi bursa masih akan seperti tahun 2013 hingga pasar bisa menemukan pendorong positif yang baru. “Entah apa itu, belum kelihatan,” kata Ferry.Apakah katalis tersebut hasil pemilu? “Mungkin dari pemilu bisa memberikan katalis positif jika presiden yang naik nantinya sesuai dengan yang diinginkan pasar,” tutur Ferry.Lantas, siapa sosok presiden yang diinginkan pasar? Dari isu yang berkembang, menurut pelaku pasar lokal maupun asing, kandidat presiden pilihan pasar condong kepada Joko Widodo, yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta. “Pasar ingin orang baru yang dianggap bisa bekerja,” imbuh Lana.Sentimen pemilu selama semester I memang bisa positif, dapat pula negatif. Pasar sahamakan bereaksi negatif jika pemilu dipandang menghasilkan presiden yang dianggap kurang mampu bekerja. Misalnya, jika presiden yang menang merupakan orang lama yang memiliki rekam jejak yang kurang baik selama ini.Sampai saat ini, kata Kepala Riset Mandiri Sekuritas John Rahmat, pasar mengambil sikap menunggu hingga pemilu usai. Di masa ini, pasar akan melihat tipe presiden terpilih. “Jika presiden terpilih dinilai bersahabat, semakin positif pula investor merespon Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dengan begitu, IHSG akan bergerak positif,” jelas John.Nah, setelah pemilu usai, para analis memperkirakan, bursa saham akan kembali tenang. Praska terlihat masih optimis melihat bursa tahun depan selepas pemilu. Praska memperkirakan, guncangan di bursa saham tahun depan hanya akan terjadi selama semester I.Memasuki semester II tahun depan, Praska memprediksi akan ada sedikit perbaikan. Misalnya, inflasi tahun depan akan sedikit melambat sehingga ada ekspektasi penurunan suku bunga 25 basis poin (bps) hingga 50 bps. “Inflasi melambat karena dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah kembali normal,” tutur dia.Begitu halnya proyeksi Lana. Dia perkirakan, akan ada aliran dana asing masuk pada triwulan II, khususnya setelah pemilu legislatif. “Apalagi jika presiden terpilih dianggap bagus, akan lebih deras lagi,” tutur Lana.Pertumbuhan ekonomiSelain pemilu, hantu bursa tahun depan ialah pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah daripada tahun ini. Padahal, semakin tinggi angka pertumbuhan ekonomi, investor akan kian tertarik untuk menanamkan uangnya di Indonesia. “Sayang, ada wacana dari Bank Indonesia yang seakan-akan mau menahan laju pertumbuhan ekonomi,” tutur John.Dengan beragam proyeksi tersebut, beberapa analis memperkirakan, IHSG pada 2014 akan ditopang oleh perbaikan kondisi makro pada semester II, terutama tekanan inflasi yang sudah berkurang. “Saya prediksi IHSG sampai akhir tahun berpotensi mencapai 5.000 jika ada capital inflow pada kuartal II,” tutur Lana.Namun, prediksi moderat Lana adalah pada kisaran 4.800–4.900, lebih tinggi ketimbang IHSG tahun 2013 yang dia perkirakan berakhir di 4.400.Praska lebih optimistis. Ia memprediksi, IHSG pada akhir 2014 akan bisa mencapai 5.230. “IHSG tahun depan masih lebih baik dari 2013 yang diperkirakan hanya 4.500,” tutur Praska.Penggerak IHSG tahun depan tak lain adalah saham-saham di sektor konsumsi, seperti saham dari produsen makanan dan minuman serta saham perusahaan yang berbisnis ritel. Salah satunya, saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), yang antara lain memproduksi pasta gigi. “Tidak mungkin orang menghentikan gosok gigi tahun depan,” tutur Lana.Selain itu, beberapa saham dari sektor manufaktur terkena dampak positif dari perbaikan ekonomi Amerika Serikat dan China tahun depan. Misalnya, saham di sektor manufaktur, seperti tekstil, garmen, dan lain-lain yang berorientasi ekspor. Maklum, porsi ekspor Indonesia ke AS cukup besar. “Perbaikan ekonomi AS akan berdampak positif ke ekonomi China, ekspor Indonesia ke China lebih terbuka lagi,” tutur Lana.Adapun, saham-saham yang akan membuat IHSG loyo ialah saham-saham yang sensitif kepada kenaikan suku bunga, seperti saham bank, saham properti, saham konstruksi, saham semen, dan saham-saham turunannya.Memang banyak sentimen negatif buat bursa. Seperti kata Anton Budiono di awal, sikap terbaik adalah lebih berhati-hati membaca situasi.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 10 - XVIII, 2013 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News