PANGKALPINANG. Juhoi adalah penambang ilegal alias tambang inkonvensional (TI) apung di Bangka, di sekitar kapal keruk milik PT Timah Tbk (TINS). Pria berusia 25 tahun tersebut berasal dari Sulawesi Tenggara dan datang ke Bangka karena mendengar bahwa di pulau tersebut banyak Timah yang bisa diambil. Walaupun cukup berbahaya tetapi ia melakukan pekerjaan itu untuk menghidupi istri dan kedua anaknya."Satu minggu itu saya cuma menyelam selama 4 hari. Mulai pukul 10.00 hingga 15.00," kata Juhoi.Ketika KONTAN temui, ia baru saja menyelam dan akan menyerahkan hasil bijih timah tersebut kepada collector (sebutan bagi pembeli timah TI apung). Hari itu ia mendapatkan bijih timah 50 kg. Sehari sebelumnya, ia memperoleh bijih timah 35 kg. Pernah dalam sehari, Juhoi hanya mendapatkan bijih timah 10 kg. Ia sudah menjalani profesi ini selama 3 tahun dan tidak ada masalah yang terjadi. "Untuk mencari makan, kadang sepi kadang ramai," lanjut Juhoi.Hari itu Juhoi mendapatkan 50 kg timah. Dengan asumsi harga timah Rp 60.000, maka Juhoi memperoleh pendapatan sebesar Rp 3.000.000. Namun, tak semua pendapatan itu bisa dibawa pulang. Pasalnya, pendapatan tersebut masih harus dipotong dengan cicilan hutang Juhoi kepada Collector. Juhoi mengaku masih memiliki hutang karenakapal miliknya adalah pinjaman dari collector. Awal menjalani profesi ini, ia mendapatkan modal sebesar Rp 35 juta.Jika pendapatan itu dipotong setengahnya oleh Collector, maka Juhoi hanya mendapatkan pendapatan sebesar Rp 1.500.000. Namun, jumlah itu belum dibagi dengan dua teman Juhoi lainnya yang ikut menyelam. Ini berarti, Juhoi hanya mendapatkan pendapatan sebesar Rp 500.000.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sehari, Penambang Ilegal Keduk 50 Kg Timah
PANGKALPINANG. Juhoi adalah penambang ilegal alias tambang inkonvensional (TI) apung di Bangka, di sekitar kapal keruk milik PT Timah Tbk (TINS). Pria berusia 25 tahun tersebut berasal dari Sulawesi Tenggara dan datang ke Bangka karena mendengar bahwa di pulau tersebut banyak Timah yang bisa diambil. Walaupun cukup berbahaya tetapi ia melakukan pekerjaan itu untuk menghidupi istri dan kedua anaknya."Satu minggu itu saya cuma menyelam selama 4 hari. Mulai pukul 10.00 hingga 15.00," kata Juhoi.Ketika KONTAN temui, ia baru saja menyelam dan akan menyerahkan hasil bijih timah tersebut kepada collector (sebutan bagi pembeli timah TI apung). Hari itu ia mendapatkan bijih timah 50 kg. Sehari sebelumnya, ia memperoleh bijih timah 35 kg. Pernah dalam sehari, Juhoi hanya mendapatkan bijih timah 10 kg. Ia sudah menjalani profesi ini selama 3 tahun dan tidak ada masalah yang terjadi. "Untuk mencari makan, kadang sepi kadang ramai," lanjut Juhoi.Hari itu Juhoi mendapatkan 50 kg timah. Dengan asumsi harga timah Rp 60.000, maka Juhoi memperoleh pendapatan sebesar Rp 3.000.000. Namun, tak semua pendapatan itu bisa dibawa pulang. Pasalnya, pendapatan tersebut masih harus dipotong dengan cicilan hutang Juhoi kepada Collector. Juhoi mengaku masih memiliki hutang karenakapal miliknya adalah pinjaman dari collector. Awal menjalani profesi ini, ia mendapatkan modal sebesar Rp 35 juta.Jika pendapatan itu dipotong setengahnya oleh Collector, maka Juhoi hanya mendapatkan pendapatan sebesar Rp 1.500.000. Namun, jumlah itu belum dibagi dengan dua teman Juhoi lainnya yang ikut menyelam. Ini berarti, Juhoi hanya mendapatkan pendapatan sebesar Rp 500.000.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News