KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Setiap tahun, sehari setelah Hari Raya Thanksgiving, Amerika Serikat merayakan Black Friday, yang kini dikenal sebagai salah satu hari belanja terbesar di negara tersebut. Berbagai toko besar menawarkan diskon besar-besaran untuk menarik pembeli ke toko fisik maupun online. Meskipun dikenal luas, istilah "Black Friday" sebenarnya memiliki sejarah yang cukup menarik yang tidak sesuai dengan pandangan umum yang beredar.
Baca Juga: Jeff Bezos, Rival Tesla Dapat Suntikan Dana US$6,6 Miliar dari Joe Biden Asal Usul Nama "Black Friday"
Banyak orang percaya bahwa istilah Black Friday berasal dari kenyataan bahwa banyak bisnis beroperasi dengan kerugian atau "in the red" (merugi) sepanjang tahun hingga akhirnya pada hari setelah Thanksgiving, mereka dapat memperoleh keuntungan besar dan berbalik menjadi "in the black" (untung). Namun, pandangan ini ternyata salah. Asal usul nama Black Friday sebenarnya bermula pada awal 1960-an di Philadelphia, ketika petugas polisi menggunakan istilah ini untuk menggambarkan kekacauan yang terjadi setelah banyaknya pengunjung dari pinggiran kota yang datang ke pusat kota untuk memulai belanja liburan mereka. Selain itu, pada tahun-tahun tertentu, banyak pengunjung yang datang juga untuk menghadiri pertandingan tahunan Army-Navy football game yang berlangsung pada hari Sabtu setelah Thanksgiving. Kerumunan besar yang datang untuk berbelanja menciptakan masalah bagi petugas kepolisian yang harus bekerja lebih lama dari biasanya untuk mengatasi kemacetan, kecelakaan, pencurian, dan masalah-masalah lainnya. Penggunaan istilah Black Friday oleh polisi untuk menggambarkan kekacauan ini segera menyebar di Philadelphia. Untuk mencoba mengubah kesan negatif dari istilah ini, beberapa pedagang lokal mulai menyebutnya sebagai "Big Friday".
Baca Juga: Keluarga Ini Kaget! Biaya Ganti Baterai Mobil Listrik Lebih Mahal dari Harga Mobilnya Transformasi Makna Black Friday
Pada akhir 1980-an, Black Friday mulai mengalami perubahan makna. Pedagang ritel mulai mengasosiasikan hari tersebut dengan keuntungan finansial yang besar. Mereka menyebarkan narasi bahwa Black Friday adalah hari dimana mereka mulai mendapatkan keuntungan untuk tahun tersebut setelah berbulan-bulan beroperasi dengan kerugian. Seiring dengan ini, Black Friday pun dikenal sebagai hari belanja terbesar di Amerika Serikat. Namun, pada kenyataannya, banyak toko ritel justru mencatatkan penjualan terbesar mereka pada Sabtu sebelum Natal. Oleh karena itu, meskipun Black Friday semakin dikenal luas, fakta bahwa itu adalah hari dengan penjualan terbesar tidak sepenuhnya benar.
Black Friday dan Perayaan Belanja Lainnya
Seiring berjalannya waktu, Black Friday diikuti oleh beberapa hari belanja lainnya yang juga populer. Salah satunya adalah Small Business Saturday, yang mendorong masyarakat untuk berbelanja di toko-toko lokal, dan Cyber Monday, yang mendorong pembelian secara daring. Selain itu, Giving Tuesday muncul sebagai gerakan yang mengajak masyarakat untuk mendonasikan uang mereka untuk kegiatan amal setelah berbelanja pada Black Friday dan Cyber Monday.
Baca Juga: Perdebatan Ayam atau Telur, Mana yang Lebih Dulu? Akhirnya Terpecahkan Konotasi Sejarah Lain dari Black Friday
Selain kaitannya dengan belanja, Black Friday juga memiliki konotasi sejarah yang lebih gelap yang terjadi pada tahun 1869. Pada hari Jumat, 24 September 1869, dua financier terkenal, Jay Gould dan Jim Fisk, mencoba untuk menguasai pasar emas Amerika Serikat di New York Gold Exchange. Mereka membeli sebanyak mungkin emas dengan tujuan menaikkan harga emas secara drastis. Namun, rencana mereka runtuh ketika Presiden Ulysses S. Grant turun tangan untuk mengintervensi pasar. Intervensi ini menyebabkan pasar saham langsung anjlok, dan ribuan orang Amerika mengalami kebangkrutan. Peristiwa ini dikenal dengan nama Black Friday, namun kali ini bukan dalam konteks belanja, melainkan sebuah krisis finansial.
Editor: Handoyo .