Sejarah Singkat Tradisi Halalbihalal saat Lebaran Idul Fitri di Indonesia



KONTAN.CO.ID -  Lebaran Idul Fitri tidak lepas dengan tradisi silahturahmi yang biasa disebut dengan Halalbihalal. 

Kegiatan ini umumnya digelar setelah peringatan Hari Raya Idulfitri. Tradisi ini merupakan bentuk silahturahmi dengan berkunjung ke rumah tetangga, saudara, atau kerabat. 

Ketika berkunjung, biasanya kita juga akan saling bersalam-salamanan dan saling memaafkan. 


Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), halal bihalal memiliki arti maaf-maafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang yang merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia. 

Baca Juga: Happy Eid Mubarak 2024, Ini 30 Ucapan Selamat Idul Fitri 1445 H dalam Bahasa Inggris

Melansir situs Direktorat SMP Kemendikbud Ristek (9/4), halal bihalal dalam bahasa Arab, berasal dari kata "Halla atau Halala" yang memiiki banyak arti, sesuai dengan konteks kalimatnya. 

Beberapa arti dari kata tersebut diantaranya  yaitu penyelesaian problem (kesulitan), meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu.

Asal usul tradisi Halalbihalal di Indonesia

Ada beberapa versi dari istilah asal usul Halalbihalal. Salah satunya yaitu berasal dari kata "halal behalal". Kata tersebut masuk dalam kamus kamus Jawa-Belanda karya Dr. Th. Pigeaud 1938.

Dalam kamus ini halal behalal diartikan sebagai dengan salam (datang, pergi) untuk (saling memaafkan di waktu Lebaran).

Asal usul istilah Halalbihalal ini bermula dari pedagang martabak asal India di Taman Sriwedari Solo sekitar tahun 1935-1936.

Pada saat itu, martabak tergolong makanan baru bagi masyarakat Indonesia. Pedagang martabak ini dibantu dengan pembantu primbuminya kemudian mempromosikan dagangannya dengan kata-kata ‘martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal’. 

Sejak saat itu, istilah halal behalal mulai dikenal luas oleh masyarakat Solo. Masyarakat kemudian menggunakan istilah ini untuk sebutan seperti pergi ke Sriwedari di hari lebaran atau silaturahmi di hari lebaran. 

Kegiatan Halalbihalal kemudian berkembang menjadi acara silaturahmi saling bermaafan saat Lebaran.

Selain itu, pada tahun 1948 K.H. Abdul Wahab Hasbullah, seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama, memperkenalkan istilah Halalbihalal pada Bung Karno sebagai bentuk cara silaturahmi antar-pemimpin politik yang pada saat itu masih memiliki konflik.

Baca Juga: Kapan Hari Raya Idul Fitri 2024? Ini Jadwal Pemerintah, NU, dan Muhammadiyah

Atas saran K.H. Wahab, pada Hari Raya Idulfitri di tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi judul ‘Halalbihalal.’ Para tokoh politik akhirnya duduk satu meja.

Mereka mulai menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depan. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno menyelenggarakan halalbihalal. 

Halalbihalal kemudian diikuti masyarakat Indonesia secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Hingga kini Halalbihalal menjadi tradisi di Indonesia.

Tradisi yang mirip dengan Halalbihalal diyakini sudah ada sejak masa Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. 

Pada zaman tesebut, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana setelah salat Idulfitri untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya.

Pada pertemuan ini diadakanlah tradisi sungkem atau saling memaafkan. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. 

Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bihalal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News