KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penggalangan dana melalui aksi penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau
rights issue masih ramai. Baru-baru ini, beberapa emiten berencana untuk melakukan
rights issue. Pertama ada PT Mahaka Media Tbk (
ABBA) yang menawarkan hingga 1,18 miliar saham baru atau setara 30% dari modal ditempatkan dan disetor penuh pada
rights issue kali ini. Harga pelaksanaan sebesar Rp 150 per saham. Selanjutnya, PT Sentul City Tbk (
BKSL) juga berencana untuk melakukan
rights issue dengan menerbitkan maksimal 100,62 saham baru dengan nilai nominal Rp 50 per saham.
Baca Juga: Mencermati Saham-saham Emiten yang Bakal Right Issue PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (
BJBR) juga berencana menawarkan sebanyak-banyaknya 682,65 juta saham biasa seri B dengan nilai nominal Rp250 per saham. Bank BJB menetapkan harga pelaksanaan Rp1.355 per saham. Sehingga dari aksi korporasi ini BJBR akan memperoleh dana segar Rp 924,9 miliar. Berikutnya, PT Perintis Triniti Properti Tbk (
TRIN) akan menerbitkan sebanyak-banyaknya 185,31 juta saham yang setara dengan 3,85% dari total modal ditempatkan dan disetor penuh setelah PUT I. Harga pelaksanaan ditetapkan sebesar Rp 750 per saham. Dari beberapa emiten yang berencana melakukan
rights issue, Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandu Dewanto melihat, yang cukup menarik ada BJBR dan MDKA. “Karena harga pelaksanaan
rights berada di bawah harga pasar sehingga diperkirakan akan dapat terserap sepenuhnya, dengan demikian rencana dari manajemen dapat dijalankan dengan optimal,” imbuh Pandu.
Baca Juga: Bank BJB (BJBR) Incar Dana Segar Rp924,9 Miliar dari Hajatan Rights Issue Apalagi, secara fundamental kedua emiten ini juga relatif sehat, tidak dalam kondisi yang terlilit hutang sehingga terpaksa melakukan penerbitan saham baru. Untuk BJBR, manajemen menyatakan bahwa dana
rights issue ditargetkan sebesar Rp 925 miliar akan digunakan untuk memperkuat struktur permodalan dalam rangka ekspansi kredit Bank BJB. Pandu bilang, hal ini tentu positif mengingat penyaluran kredit BJBR selama ini cukup kuat dan terus bertumbuh. Hingga Oktober 2021, penyaluran kredit mencapai Rp 94 triliun atau sudah lebih tinggi dari setahun penuh 2020 yang sebesar Rp 89 triliun, dan pada 2019 sebesar Rp 81 triliun. Pandu menilai, tanpa
rights issue pun sebenarnya Bank BJB sudah cukup bagus dalam menjalankan operasionalnya.
Baca Juga: Properti Bangkit, Marketing Sales TRIN di 2021 Naik 59% Selanjutnya untuk MDKA, manajemen menargetkan memperoleh dana cukup besar yaitu Rp 3,4 triliun yang sebagian besar akan digunakan untuk ekspansi dan modal kerja. “Dengan tambahan modal tersebut diharapkan produksi perseroan akan segera meningkat, terutama dari proyek TB Coppe, JV Pani dan AIM. Karena selama ini yang menghasilkan
cash flow baru dari proyek TB Gold dan Wetar,” jelas Pandu. Tahun lalu kinerja MDKA belum optimal karena adanya insiden keretakan di tambang emas tujuh bukit sehingga produksi menurun. Seharusnya, tahun depan sudah normal bahkan dapat meningkat signifikan dengan target produksi emas hingga 120.000 ons. Pandu memperkirakan kedua emiten ini akan cukup atraktif pasca
rights issue sehingga bisa dipertimbangkan untuk mengeksekusinya. Bagi investor yang belum punya sahamnya, mungkin bisa mengincar BJBR dan MDKA jika terjadi koreksi, memanfaatkan kondisi pasar yang mungkin akan kurang kondusif akibat kekhawatiran perang Ukraina belakangan ini.
Baca Juga: Inilah Pilihan Saham Harga Murah Tapi Diprediksi Memiliki Prospek Cerah Mengenai strategi
rights issue untuk mencari keuntungan dari hajatan
rights issue, selain kondisi keuangan dan prospek bisnis dari masing-masing emiten, biasanya perlu dilihat seberapa signifikan nilai tambahan modal yang diperoleh.
“Semakin besar nilainya semakin besar pula kepentingan dalam aksi korporasi tersebut. Misalnya ada investor baru yang masuk dan menjadi pengendali dengan mengambil sebagian besar kepemilikan, hal ini bisa berdampak signifikan pada operasional usaha dan pergerakan saham tersebut,” paparnya. Jika nilainya kecil, biasanya tidak terlalu berpengaruh. Kemudian, perlu dilihat juga harga pelaksanaan, jika terlalu tinggi ada potensi tidak laku, sehingga target perolehan dana tidak tercapai. Hal ini bisa menimbulkan masalah apabila dana tersebut benar-benar sedang diperlukan oleh emiten. “Jika harga pelaksanaan di bawah harga pasar tentu investor akan dengan senang hati mengeksekusinya,” pungkas Pandu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati