KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa emiten pendatang baru di Bursa Efek Indonesia (BEI) ikut terjeblos ke papan pemantauan khusus. Alhasil, tak sedikit saham yang akhirnya tersungkur di bawah gocap alias Rp 50 per saham. Berdasarkan data yang dihimpun KONTAN, dari 220 saham yang masuk di papan pemantauan khusus, 33 saham di antaranya merupakan emiten yang melantai alias listing di antara 2020–2024. Kebanyakan emiten angkatan 2020 paling banyak masuk ke papan pemantauan khusus, jumlahnya mencapai 16 emiten. Namun bahkan ada emiten yang baru seumur jagung sudah masuk ke papan ini.
Yakni, PT Citra Nusantara Gemilang Tbk (
CGAS) dan PT Mitra Pedagang Indonesia Tbk (
MPIX). Pasalnya, kedua emiten itu baru bergabung bursa saham pada Maret 2024.
Baca Juga: Buyback 75 Juta Saham, Saratoga (SRTG) Siapkan Anggaran Rp 150 Miliar Jika dicermati mayoritas emiten anyar itu terkena kriteria yang berkaitan dengan likuiditas. Emiten yang terkena kriteria fundamental hanya PT Net Visi Media Tbk (
NETV) dan PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (
SBAT). Adapun NETV terkena kriteria lima karena memiliki ekuitas negatif. Sedangkan SBAT terkena kriteria tiga karena tidak membukukan pendapatan pada laporan keuangannya. Iman Rachman, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) menurunkan dari 220 yang ada di papan pemantauan khusus, tidak semuanya merupakan emiten pendatang baru tetapi emiten yang sudah mandek sejak lama. "Jadi tidak semua proses IPO di 2021–2024 masuk semua. Kami menjaga betul emiten agar tidak terkena PKPU atau likuidasi, kalau terjadi karena kami kurang mengkaji perusahaan," katanya saat ditemui Kontan, beberapa waktu lalu. Iman menyampaikan dari seluruh permintaan IPO yang masuk, setidaknya ada 30% perusahaan yang tidak lolos untuk bisa menggelar penawaran umum saham. Ini karena BEI melakukan penyaringan dengan ketat. Namun sejatinya penurunan harga saham setelah IPO dinilai menjadi hal yang wajar. Pasalnya, tak sedikit emiten yang menawarkan sahamnya di harga yang mahal alias
overpriced. Pengamat Pasar Modal Satrio Utomo Purnomo mengatakan saat ini masalah yang muncul adalah investor membeli saham IPO tanpa memperdulikan fundamental. Kebanyakan hanya melihat jumlah antrean hingga perusahaan efek. Pria yang akrab dipanggil Tommy menuturkan harga IPO tetap lebih mahal dari harga sebenarnya karena perusahaan ingin uang sebanyak-banyaknya sehingga harga saham pasca IPO yang benar harusnya turun mengikuti nilai wajarnya.
Baca Juga: Terancam Delisting, Begini Kinerja Keuangan Envy Technologies (ENVY) Tahun 2023 "Ketika perusahaan itu IPO dengan Price Earning Ratio (PER) dan Price Book Value (PBV) harusnya Otoritas Jasa Keuangan bisa bertanggung jawab karena memberikan izin," ucapnya saat dihubungi Kontan, Selasa (2/4). Tommy bilang investor tidak bisa menutup mata karena mungkin ada emiten yang fundamentalnya masih bagus, tetapi tidak nampak di permukaan. Alhasil, banyak emiten baru IPO yang likuiditasnya rendah. Di sisi lain, emiten juga harus berusaha untuk meningkatkan kinerja keuangan sehingga valuasi yang ditawarkan ke investor lebih menarik. Dengan begitu, investor akan melirik sahamnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari