KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah emiten diproyeksi akan diuntungkan dari rencana Pemerintah Indonesia untuk menerapkan perdagangan karbon. Analis Korea Investment and Sekuritas Indonesia Nicholas Kevin Mulyono mengatakan, ada beberapa emiten yang meraup untung dari skema perdagangan karbon.
Pertama, di sektor energi baru terbarukan (EBT), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (
PGEO) menjadi salah satu yang diuntungkan.
Per enam bulan pertama 2022, PGEO telah mulai mencatat penjualan kredit karbon sebesar US$ 667.000 atau berkontribusi sebesar 0,36% terhadap pendapatan segmen energi.
Baca Juga: Dubes Jepang Kunjungi Pertamina Geothermal (PGEO), Kaji Pengembangan Hidrogen Hijau Pembangkit listrik Lahendong Unit 5&6 milik PGEO dengan kapasitas 40 megawatt (MW) telah disertifikasi oleh
Verified Carbon Standard (Verra), dan mampu menghasilkan pengurangan emisi sebesar 181.030 tCO2e setiap tahunnya.
Kedua, ada PT Barito Pacific Tbk (
BRPT). Melalui Star Energy, emiten besutan Prajogo Pangestu ini memiliki pembangkit listrik tenaga panas bumi terbesar di Indonesia dengan kapasitas 875 MW.
BRPT menghasilkan US$ 3,3 juta dari penjualan kredit karbon, menyumbang 0,2% dari pendapatan energi per Sembilan bulan pertama 2022. Salah satu pembangkitnya, Wayang Windu Phase 2 berkapasitas 117 MW terdaftar
Clean Development Mechanism (CDM) dan
Verified Carbon Standard (Verra).
Baca Juga: Kementerian ESDM Resmikan Perdagangan Karbon Subsektor Ketenagalistrikan Pada tahun 2021, pembangkit listrik tersebut memproduksi dan menjual pengurangan emisi sebesar 378.221 tCO2e dengan harga US$ 0,95 per tCO2e. Di sektor kehutanan dan tata guna lahan, ada dua emiten yang diuntungkan, yakni PT SLJ Global Tbk (
SULI) dan PT Integra Indocabinet Tbk (
WOOD) bisa mendapatkan keuntungan dari cadangan lahan yang cukup luas. Nicholas menyebut, SULI memiliki konsesi kawasan hutan seluas 625.000 hektare (ha) dengan Perizinan Usaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), salah satu pemilik konsesi kawasan hutan terbesar di Indonesia.
Editor: Noverius Laoli