JAKARTA. Isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) turut menekan nilai tukar rupiah. Mengacu kurs tengah BI, pada Jumat (14/11) lalu, rupiah melemah 0,12% menjadi Rp 12.206 per dollar AS. Dalam sepekan terakhir, rupiah terkoreksi 0,47%. Di pasar modal, depresiasi rupiah ikut menekan kinerja emiten. Tapi ada pula emiten meraih berkah dari melemahnya rupiah. Terkulainya rupiah mendorong kinerja beberapa emiten, terutama yang bergerak di bisnis komoditas. Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia mengatakan, kinerja produsen eksportir minyak sawit mentah (CPO) bisa melejit. Pasalnya, emiten CPO memperoleh pendapatan dalam dollar AS, sementara pencatatan pendapatan emiten ini dalam kurs rupiah.
"Harga CPO juga sedang bagus. Ini turut menopang kinerjanya," ujar Satrio, Jumat (14/11) lalu. Misalnya, kinerja PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) terlihat moncer sepanjang tahun ini. Hingga kuartal III-2014, laba bersih AALI melejit 106,8%
year-on-year (yoy) menjadi Rp 1,8 triliun. PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) juga menjadi emiten yang bakal terkena imbas positif pelemahan rupiah. "AALI dan LSIP terlihat cukup cepat penjualannya, jadi bisa terdampak positif," imbuh Satrio. Analis Asjaya Indosurya Securities, Wiliam Suryawijaya, sepakat emiten CPO terkena efek positif pelemahan rupiah. "Namun dilihat juga, jika beban utangnya dalam dollar AS banyak, bisa menekan margin," kata dia. Tapi tak semua emiten komoditas untung dari koreksi rupiah. Satrio bilang, emiten tambang batubara tak bakal banyak terpengaruh pelemahan rupiah. Soalnya, harga batubara masih anjlok, sehingga perubahan nilai tukar tak mampu mengangkat margin. Emiten telekomunikasi, PT Indosat Tbk (ISAT), juga meraup berkah dari koreksi rupiah. Rugi selisih kurs ISAT melorot tajam, dari Rp 2,31 triliun di kuartal III 2013 menjadi hanya Rp 146,7 miliar di kuartal III 2014. Faktor inilah yang menyebabkan kerugian bersih ISAT menyusut 25% (yoy) menjadi Rp 1,32 triliun di kuartal III 2014. Analis Indo Premier Securities, Stanley Liong dalam riset pada 31 Oktober 2014 menilai, PT Timah Tbk (TINS) juga tertolong koreksi rupiah. Beban kas TINS turun akibat pelemahan rupiah. Pada kuartal III-2014, beban kas TINS turun 11% (yoy) karena rupiah melemah menjadi Rp 11.700 dari Rp 10.000 per dollar AS di kuartal III-2013. "Sebenarnya beban kas riil TINS naik. Tapi rupiah melemah, jadi turun," ujar dia. Beban ini meliputi beban bahan baku dan bahan bakar. David Sutyanto, Analis First Asia Capital mengatakan, beberapa emiten garmen yang ekspansif melakukan ekspor juga terimbas efek positif pelemahan rupiah. Misalnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL). Kepala Riset MNC Securities Edwin Sebayang juga menilai, SRIL punya prospek bagus. Untuk bisa terus tumbuh, SRIL harus menambah kapasitas produksi dan memperluas ekspor.
Namun, tampaknya beban karyawan SRIL masih merongrong kinerjanya sehingga margin pun tak optimal. "Beban yang tinggi apalagi ada kenaikan upah minimum dapat menekan kinerja SRIL," David menambahkan. Edwin juga bilang, emiten yang bergerak di bidang
pulp and paper yang melakukan ekspor berpotensi untung karena biaya bahan baku tercatat dalam rupiah. Emiten konsumer pun dianggap diuntungkan koreksi rupiah. Meski bahan baku sektor ini kombinasi antara rupiah dan dollar AS, terdapat potensi untung dari pasar ekspor. "Contohnya PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF)," kata Edwin. Analis optimistis depresiasi rupiah tak berlangsung lama. Meski masih ada isu BBM, Satrio percaya kondisi makro Indonesia bakal membaik dan rupiah bisa terapresiasi di kisaran Rp 10.000-Rp 10.800 per dollar AS. Sementara William masih yakin rupiah lebih moderat di levelĀ Rp 11.800-Rp 12.200 per dollar AS. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sandy Baskoro