KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga sejumlah komoditas mineral mengalami kenaikan di 2021, misalnya saja nikel. Melansir Grafik Harga Mineral Acuan di laman resmi KESDM pada September (13/9) harga nikel sudah menyentuh US$ 19.239 per dry metrik-ton (DMT) dari yang sebelumnya di Januari 2021 di level US$ 16.541 per dmt. Harga tembaga juga mengalami kenaikan yang signifikan jika dibandingkan dengan awal tahun. Rinciannya, pada Januari 2021 posisi harga tembaga US$ 7.607 per dmt, kemudian pada September 2021 di level US$ 9.448. Sebelumnya harga tembaga sempat menyentuh angka tertingginya yakni di US$ 10.031 pada Juni 2021. Pelaksana Harian Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Djoko Widajatno memaparkan fenomena naiknya harga sejumlah komoditas saat ini didorong oleh beberapa persoalan salah satunya menipisnya pasokan global dan kuatnya permintaan dari sejumlah sektor industri terhadap komoditas mineral tertentu.
"Harga komoditas bergantung kepada pasokan dan permintaan, keadaan banjir di China dan Australia, Jerman dan lainnya turut menghambat produksi komoditas tertentu," jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (13/9). Djoko memberikan gambaran lebih rinci dan merujuk pada satu komoditas, yakni tembaga. Menipisnya pasokan tembaga global terjadi karena produsen tembaga nomor dua dunia, Peru melaporkan penurunan produksi. Djoko memaparkan, Kementerian Energi dan Pertambangan setempat menyatakan, penurunan produksi tembaga di Peru disebabkan oleh pandemi virus corona yang menghambat kegiatan pertambangan.
Baca Juga: Kinerja BUMN tambang membaik terangkat harga komoditas Djoko bilang, turunnya produksi tentu berdampak pada harga komoditasnya karena untuk mengembalikan tingkat produksi seperti semula membutuhkan waktu. Seiring dengan lemahnya pasokan tembaga, terjadi permintaan yang kuat dari sejumlah sektor industri seperti manufaktur, konsumer, infrastruktur dan otomotif pada paruh pertama tahun 2021. "Ditambah dengan kebijakan dari partai demokrat USA untuk mendorong pertumbuhan industri di sana dan investasi sehingga optimisme investor terhadap kemunculan paket stimulus dari Amerika Serikat memberikan katalis positif terhadap permintaan global," kata Djoko. Mengacu pada kondisi di dalam negeri, realisasi produksi sejumlah komoditas mineral di sepanjang 2020 tidak mencapai target akibat pandemi Covid-19, kecuali produksi nikel. Djoko memaparkan, di 2020 realisasi produksi tembaga sebesar 268.600 ton atau hanya mencapai 92% dari target. Lalu produksi emas tercatat 66,2 ton atau 93%dari target. Untuk perak realisasi produksinya tercatat 338,1 ton atau 99% dari target. Produksi timah bahkan hanya memenuhi 75% dari target yakni 52.600 ton. Hanya satu komoditas yang mampu melampaui target, yakni olahan nikel sebanyak 2.316.500 ton atau 120% dari target. Yang terdiri dari Feronikel 1.462.300 ton dan Nickel Pig Iron sebanyak 860.500 ton.Sedangkan produksi nikel matte sebanyak 91.700 ton atau 127% dari target.
Djoko memproyeksikan, harga komoditas mineral Indonesia akan mengalami kenaikan di 2021 seiring pergerakan di negara industri serta penemuan teknologi untuk memenuhi kebutuhan kendaraan listrik dan kesehatan dalam menangani pandemi. Djoko bilang, dampak positif kenaikan harga komoditas bagi industri tentu dapat meningkatkan pendapatan serta membantu pelaku usaha merestrukturisasi pinjaman. "Untuk sementara ini sektor minerba belum dapat melakukan ekspansi karena masih terikat RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Belanja). Adapun perubahan dapat diajukan. Akan tetapi, sejauh ini IMA belum memperoleh Informasi yang akurat," ujarnya. Lantas, dampaknya bagi produk hilir yang menggunakan bahan baku mineral yang harganya sudah naik adalah biaya produksi yang membengkak. "Data harga produksi hilir ada kenaikan, akan tetapi kami tidak punya datanya. Hal ini dapat dilihat naiknya harga produk bahan bangunan seperti besi, alumunium, baja ringan, plat nikel baja, dan lainnya," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .