KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan saat ini ada sejumlah lapangan migas yang mengantre untuk mengubah skema pengembangan dari
gross split ke
cost recovery. Ekonom energi melihat, salah satu alasannya karena biaya operasional yang semakin tinggi pada lapangan yang sudah tua (mature). Skema gross split ialah skema perhitungan bagi hasil pengembangan wilayah kerja migas antara pemerintah dan KKKS diperhitungan di muka. Pemerintah tidak ikut campur terhadap proses pengadaan barang dan jasa kegiatan usaha hulu migas. Sejatinya, KKKS dapat lebih fleksibel dalam melakukan efisiensi biaya produksi dan inovasi teknologi.
Dari sisi keuangan negara, skema gross split lebih meringankan beban negara karena tidak harus menanggung biaya produksi dan risiko bisnis hulu migas.
Baca Juga: Pertamina Cari Partner Baru di Blok Masela, Begini Progresnya Skema
cost recovery ialah kontrak bagi hasil penggantian biaya operasi bagi wilayah kerja oleh negara. Jadi biaya operasi dikeluarkan lebih dahulu oleh kontraktor untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, dan produksi migas. Kerap kali, skema ini menimbulkan beberapa persoalan yakni perdebatan antara pemerintah dengan KKKS dalam menentukan biaya mana dan berapa yang harus diganti oleh pemerintah. Wakil Kepala SKK Migas Nanang, Abdul Manaf menyatakan, saat ini sudah ada sekitar tiga atau empat lapangan migas yang mengajukan perubahan skema dari gross split ke cost recovery. Sebagian milik PT Pertamina dan ada juga yang bukan. “Rata-rata lapangan migasnya tidak ekonomis karena cadangan migasnya marginal, operational expenditure (opex)nya relatif tinggi, sehingga membutuhkan insentif yang besar,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (27/9).
Baca Juga: Indonesia Targetkan Hilirisasi Migas US$ 68,1 Miliar hingga 2040, Ini Tantangannya Nanang menyatakan saat ini pihaknya sedang menelaah ulang untuk melihat peluang efisiensi biaya pengembangan lapangan tersebut. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji menjelaskan, pemerintah masih mengevaluasi permintaan dari sejumlah lapangan migas yang meminta perubahan skema gross split ke cost recovery. “Itu dievaluasi, permasalahannya tidak mudah kalau dari gross split ke cost recovery karena setiap (biaya) yang dia keluarkan tanpa ada persetujuan dari pemerintah. Kalau masuk ke cost recovery kan tidak boleh (langsung) di cost recovery kan,” jelasnya saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Senin (25/9). Pasalnya, lanjut Tutuka, pihak perusahaan telah mengeluarkan biaya berdasarkan kebutuhan dan keputusannya sendiri. Meski ada kemungkinan bisa, Tutuka bilang, tetap harus berhati-hati untuk mengambil keputusan tersebut. “Kalau mau menambah split (dalam skema gross split) itu konsekuensi, pindah dari Gross Split ke Cost Recovery bisa iya dan tidak,” ujarnya. Tanpa memberikan keterangan lebih lanjut mengenai lapangan migas mana saja, dia mengungkapkan, sudah ada satu wilayah kerja (WK) yang mengajukan dan beberapa masih antri.
Baca Juga: Pupuk Indonesia Grup Teken Kontrak Perjanjian Jual Beli Gas “Saya kira yang mau antri ada tiga lapangan, satu lebih pasti ingin berubah,” tandasnya. Ekonom Energi sekaligus pendiri ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto menjelaskan perubahan skema yang dilakukan KKKS karena lapangan-lapangan tersebut tidak ekonomis jika dikembangkan dengan gross split. Atau bisa jadi akan ekonomis dengan gross split hanya saja memerlukan tambahan split yang lebih besar. Lapangan yang mengajukan perubahan skema sebagian besar sudah tua (mature) sehingga keekonomiannya semakin lama menurun dan kinerja teknisnya tidak bisa diprediksi. Dengan kondisi seperti itu, Pri menilai lebih cocok untuk pakai cost recovery. “Lebih baik memang dikabulkan saja pindah dari gross split ke cost recovery. Selain akan memperbaiki keekonomian, sistem cost recovery juga akan lebih memberi insentif untuk KKKS melakukan kegiatan eksplorasi dan pengembangan lapangan tingkat lanjut karena faktor risiko yang dibagi bersama antara KKKS dan negara,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (27/9).
Baca Juga: Jika Blok Masela Tidak Produksi pada 1 Januari 2030, Begini Konsekuensinya Menurut Pri Agung, tidak ada konsekuensi ke keuangan negara secara langsung jika memberikan restu perubahan skema pengembangan ke cost recovery. Artinya, tidak ada uang negara dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang akan keluar dari pemberian izin ini. Pri Agung menjelaskan, semua hasil produksi migas memang perlu dibagi dahulu dengan KKKS sebelum masuk ke sistem keuangan negara. Jika tidak diberikan, dikhawatirkan lapangan yang tidak ekonomis ini tidak bisa lanjut beroperasi. Investasi dan aktivitas migas tidak akan bergulir dan tidak akan ada produksi yang bisa dibagi ke negara nantinya. “Jika demikian, ini akan merugikan baik dari sisi penyediaan energi maupun ketahanan ekonomi energi,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli