Sejumlah Negara Perketat Impor, Produsen Baja Nasional Terancam Kesulitan Ekspor



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha baja nasional dihadapkan pada tantangan untuk mengakses ke pasar internasional. Hal ini menyusul wacana perpanjangan bea masuk antidumping terhadap produk baja yang diterapkan Pemerintah China serta kebijakan pengetatan impor dari negara lainnya.

Dilansir dari Xinhua, Kementerian Perdagangan China telah memberlakukan bea masuk antidumping pada produk baja yang berasal dari Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia sejak 23 Juli 2019 dengan tarif berkisar 18,1% sampai 103,1% selama 5 tahun. Usai kadaluarsa pada 23 Juli 2024, Pemerintah China sedang meninjau ulang kebijakan pengetatan impor baja tersebut.

Direktur Eksekutif The Indonesia Iron & Steel Industry Association (IISIA) Widodo Setiadharmaji mengatakan, selama ini China merupakan pasar utama ekspor baja Indonesia. Berdasarkan data IISIA, pada 2023 lalu Indonesia mengekspor berbagai produk baja ke China sebanyak 10,15 juta ton atau setara 73,7% dari total ekspor baja nasional.


Baca Juga: Gunung Raja Paksi (GGRP) Optimistis Kinerja Membaik di Semester II-2024

Rencana perpanjangan kebijakan bea masuk antidumping baja oleh China berpotensi upaya peningkatan ekspor baja nasional. Padahal, di saat yang sama, Uni Eropa juga memperketat arus barang impor melalui kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang turut menyasar besi dan baja mulai Januari 2026.

IISIA juga menyebut, sebenarnya kebijakan proteksionisme industri baja di berbagai negara telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Selain China dan Uni Eropa, ada Amerika Serikat yang sudah menaikkan tarif bea masuk tambahan tiga kali lipat untuk impor baja pada 2018. Brazil juga akan menerapkan kuota impor dan mengerek tarif pajak impor menjadi 25% untuk 11 produk baja gulungan. Ada pula Meksiko yang mengenakan bea masuk sekitar 20%--50% hingga April 2026 untuk impor baja dari negara-negara tanpa perjanjian perdagangan bebas dengan Meksiko.

"Di sisi lain Indonesia sangat minim dalam penerapan kebijakan trade remedies, sehingga rawan menjadi sasaran impor produk baja dari negara lainnya," ungkap Widodo, Senin (29/7).

Negara alternatif

Dia menambahkan, pasar ekspor pada dasarnya tetap perlu dioptimalkan oleh para produsen baja nasional. Terdapat beberapa negara lain yang bisa jadi tujuan ekspor potensial seperti Turki, Timur Tengah, Afrika bagian selatan, hingga Australia. Peran diplomasi dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan sangat diperlukan untuk membuka peluang ekspor tersebut.

Lebih lanjut, pasar domestik juga bisa dimaksimalkan oleh para produsen baja, mengingat kebutuhan baja yang begitu besar. Sayangnya, sampai saat ini pangsa pasar baja nasional justru banyak diisi oleh produk impor, khususnya dari China.

"Kami berharap pemerintah dapat melindungi pasar domestik dari serbuan produk impor," tutur Widodo.

Baca Juga: Harga Komoditas Mineral Menguat di Kuartal II 2024, Kinerja Emiten Tambang Melesat

Dalam catatan IISIA, impor baja dari China mencapai 4,16 juta ton pada 2023 atau melesat 35,4% dibandingkan tahun sebelumnya dan berkontribusi 28% dari total impor baja Indonesia.

Terlepas dari itu, IISIA tetap percaya proyeksi pertumbuhan produksi dan konsumsi baja nasional sebesar 5,4% pada 2024 dapat terpenuhi. Hal ini berkaca pada pertumbuhan ekonomi nasional yang diprediksi stabil di kisaran 5% sepanjang tahun ini.

Sementara itu, Manajemen PT Steel Pipe Industry Indonesia Tbk (ISSP) mengaku tidak terlalu terdampak oleh rencana perpanjangan bea masuk antidumping produk baja oleh China. Pasalnya, ISSP lebih banyak mengekspor baja ke Kanada, AS, Australia, dan negara Asia lain. ISSP pun menargetkan penjualan ekspor sebanyak 30.000 ton pada 2024.

"Tantangan utama pencapaian target ekspor bagi kami adalah masalah biaya angkutan yang tinggi, sehingga melemahkan daya saing produk Indonesia," terang Corporate Secretary PT Steel Pipe Industry Indonesia Tbk Johannes W. Edward, Senin (29/7).

Steel Pipe Industry Indonesia  tetap menargetkan pertumbuhan penjualan secara konsolidasi sekitar 10%--20% hingga akhir tahun nanti. Untuk itu, ISSP terus meningkatkan upaya pemasaran untuk mendukung penjualan baja perusahaan.    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi