JAKARTA. Sejumlah partai politik "balik badan" terkait hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Awalnya, mendukung dan membiarkan para politisinya bermanuver di Senayan, kini ramai-ramai menyatakan penolakan. Rapat Badan Musyawarah DPR yang dihadiri seluruh fraksi memutuskan membawa usulan hak angket ke sidang paripurna untuk pengambilan keputusan.
Saat paripurna pengambilan keputusan soal hak angket KPK, terjadi aksi
walk out. Tiga fraksi yakni Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Fraksi Partai Demokrat menyatakan menolak usulan hak angket tersebut. Ketiga fraksi juga menyatakan keberatan terhadap Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah selaku pimpinan rapat yang dianggap memutuskan secara sepihak. Suara penolakan beruntun lantang disuarakan pimpinan partai. Sikap "balik badan" itu membuat Politisi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu berang. Anggota Komisi III, yang juga salah satu pengusul hak angket itu, meradang saat sejumlah fraksi menyatakan menolak usulan tersebut di paripurna. Dia mengklaim, awalnya semua anggota Komisi III setuju permasalahan itu dibahas melaluiĀ penggunaan hak angket. Masinton menyebut kawan-kawannya munafik karena tiba-tiba berbalik. Penolakan Tiga fraksi yang melakukan aksi
"walk out" saat paripurna adalah yang pertama kali "balik badan". Ketua umum partai-partai itu pun menyuarakan penolakan. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menyatakan mendukung langkah Fraksi Gerindra. "(Sikap Gerindra) Sudah jelas, kan?" ujar Prabowo, seusai menghadiri Milad PKS beberapa waktu lalu. Demikian pula Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Pada Selasa (2/5) kemarin, ia kembali menegaskan bahwa pihaknya tak akan mengirimkan perwakilan dalam Panitia Khusus sebagai bentuk konkret penolakan. "Karena tidak setuju, saya berharap tidak dilanjutkan lagi. Enggak akan mengirim (perwakilan)," ujar Muhaimin di Kantor DPP PKB. Meski salah satu anggotanya, Rohani Vanath, sempat memberi tanda tangan dukungan, Muhaimin menegaskan bahwa yang bersangkutan telah mencabut dukungan tersebut. Ketua Umum PPP Romahurmuziy tak kalah lantang. Ia meminta Arsul Sani, Anggota Komisi III dari Fraksi PPP yang juga Sekretaris Jenderal PPP, untuk mencabut dukungannya terhadap hak angket KPK. "Keputusan Saudara Arsul Sani ini berdasarkan keputusan pribadi, bukan keputusan fraksi. Maka setelah fraksi memutuskan untuk tidak melanjutkan hak angket KPK maka seluruh kader PPP harus mematuhi keputusan itu," ujar Romahurmuziy, melalui keterangan tertulisnya. Sementara itu, Presiden PKS Sohibul Iman mengatakan, tanda tangan dukungan yang diberikan Fahri Hamzah hanya akal-akalan Fahri. Ia menganggap langkah Fahri bukan bagian dari kebijakan Fraksi PKS di DPR, melainkan inisiatif pribadi. Seluruh kader PKS kompak menolak usulan itu. Sohibul menyatakan Fahri bukan kader PKS. "Anda kan sudah tahu posisi Pak Fahri di mana. Jadi PKS-lah yang sejak awal konsisten menolak hak angket. Buktinya kami tidak ada satupun yang menandatangani," ujar Sohibul. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan bahkan menyatakan akan melalukan perlawanan jika hak angket tetap diteruskan di tingkat Pansus. "Kami akan lawan dengan cara apapun, tentu. Kalau memang tidak mengirim (perwakilan) bisa menyelesaikan masalah ya kami tidak kirim. Kalau tidak menyelesaikan masalah, ya kami tarung di dalam," ujar dia. Menurut Zulkifli, hak angket bisa berujung pada jatuhnya pemerintahan karena muara hak angket adalah hak menyatakan pendapat kepada Presiden. Kerja KPK untuk mengusut kasus-kasus korupsi menurutnya tak boleh diganggu. "Menyatakan pendapat, bisa jatuh pemerintah," kata Ketua MPR RI itu. Orientasi Pemilu 2019 Sikap "balik badan" seperti ini bukan kali pertama terjadi di pemerintahan era Presiden Joko Widodo. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan, hal yang sama terjadi pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). hak angket terkait kenaikan harga BBM itu sempat membuat popularitas Presiden dua periode itu anjlok. Sama seperti situasi saat ini, aktor utama hak angket saat itu juga merupakan partai pendukung pemerintah. "Ini penyakit. Memang seperti itu. (Situasi saat ini) Enggak ada beda antara Pak SBY dua periode itu yang juga mengalami hal yang sama. Ini bukan hal yang pertama, bukan hanya dialami Pak Jokowi," kata Siti, saat dihubungi, Selasa (2/5) malam. "Enggak kurang-kurang Pak SBY sudah mengakomodasi kepentingan partai-partai tapi nyatanya kebijakan Pak SBY mau naikkan BBM saja susahnya setengah mati," lanjut dia. Pertama, kata Siti, harus dilihat apa tujuan utama hak angket itu bergulir. Bisa jadi ada perasaan terancam di antara anggota-anggota fraksi terkait munculnya kasus dugaan korupsi e-KTP yang membuat mereka melakukan langkah spontan, yakni "memperkarakan KPK". Siti menilai, sikap "balik badan" partai ini biasanya dilakukan setelah melakukan hitungan politik jangka pendek, menengah maupun panjang. Hal ini yang terkadang membuat ikatan antar-partai menjadi tak lagi solid, melonggar atau bahkan putus. "Mengapa di tengah jalan (balik badan), pasti ada hitung-hitungan politiknya, pertimbangan-pertimbangan yang lalu ternyata membuat dirinya tidak untung," ujar Siti. Partai-partai, menurut Siti, belum terbiasa berpikir visioner dan jangka panjang untuk kepentingan negara seperti para pendiri bangsa. "Mereka (partai) takut kepada dukungan yang tidak akan mereka peroleh ketika mereka melakukan, membuat suatu investasi-investasi politik yang negatif," tutur Siti. Muaranya adalah Pemilu 2019.
Belajar dari situasi di masa lalu, partai pemenang pemilu saat ini belum tentu jaya di pemilu berikutnya. "Mereka masih fresh ketika Bu Mega (Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri) menjadi Presiden, apa yang terjadi? Pemilu 2014 kalah. Padahal Pemilu 1999 menang. Ketika Pak SBY luar biasa sampai dua periode 2014 Demokrat kalah," ujar Siti. "Jadi apakah PDI-P akan menang di 2019? Tidak ada yang tahu," sambungnya. (Nabilla Tashandra) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie