KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini sejumlah pengguna listrik surya atap mulai mengubah sistem PLTS atap di rumah untuk tidak terkoneksi dengan jaringan PLN (
off-grid), terutama untuk menghindari kendala perizinan dan persyaratan lain yang memberatkan. Umumnya calon pengguna bingung dengan aturan baru terkait pembatasan dan syarat baru seperti profil beban. Dalam catatan
Kontan.co.id sebelumnya, sudah banyak pengguna di kota dengan tarif daya cukup tinggi yang mulai berinvestasi baterai atau
Battery Energy Storage System (BESS) sehingga bisa menggunakan PLTS atap secara maksimal.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa menjelaskan, berdasarkan observasinya ada sebagian kecil pengguna PLTS Atap yang sudah memanfaatkan baterai PLTS sebagai media penyimpanan listrik dan tidak menjual (mengekspor) kelebihan listriknya ke PLN.
Baca Juga: Begini Aturan Baru Soal Pengajuan Permohonan Pemasangan PLTS Atap “Selain itu ada juga masyarakat yang memilih off-grid dengan menggunakan baterai karena enggan berurusan dengan perizinan PLN. Tapi jumlahnya masih sangat kecil,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Minggu (21/5). Fabby mengakui saat ini dia merupakan salah satu pengguna PLTS Atap plus baterai sejak 2018. Namun pada kala itu, untuk mendapatkan
net metering atau meteran EXIM tidak mudah. Sebagai informasi, meter EXIM atau net metering PLTS merupakan mekanisme layanan, di mana listrik yang dihasilkan oleh sistem panel surya atap dapat diekspor ke jaringan distribusi PLN, dan bisa digunakan kembali untuk konsumsi rumah tangga tersebut. Adapun pihak PLN yang akan mengeluarkan meter EXIM ini. Perihal efisiensi yang bisa dicapai dengan penggunaan baterai diakuinya tidak sama satu dengan yang lainnya. Kapasitas baterai tergantung pada kapasitas PLTS Atap dan kelebihan pada siang hari. Jadi berbeda tingkat pemanfaatannya. Fabby menjelaskan, ada kasus di mana PLTS Atap yang dilengkapi baterai bisa memenuhi 80%-100% kebutuhan listrik harian, sehingga minim penggunaan listrik PLN. Namun ada juga yang tidak demikian. Meski demikian, pemanfaatan baterai masih sangat minim karena harganya yang masih sangat mahal. Hal ini menyebabkan ada beberapa pengguna PLTS Atap yang batal memasang baterai lithium karena tidak ekonomis. Sejalan dengan harganya yang masih mahal atau sekitar US$ 3.000 sampai US$ 3.500 per kilowatt hour (KWh) untuk baterai lithium, balik modal yang akan dirasakan pengguna tentu semakin lama. Fabby menjelaskan balik modal ini tergantung pada banyak faktor, salah satunya siklus pengisian atau pengosongan. Rata-rata baterai lithium atau LiFePo sekitar 2.000 siklus, sehingga bisa bertahan sekitar 7 tahun.
Baca Juga: Dalam Revisi Permen ESDM PLTS Atap, Ekspor Listrik Ditiadakan “Akibat investasinya yang mahal dan balik modal yang lama, pemasangan baterai masih sangat terbatas, kecuali penggunanya memang mampu dan mau memasang baterai,” terangnya. Berbeda cerita jika keekonomian pemasangan PLTS Atap plus baterai masuk dalam hitungan. Pelanggan di sektor industri akan memilih pasang baterai ketimbang mengekspor listrik ke PLN karena kelebihan listriknya bisa digunakan di malam hari. Sedangkan saat ini pelanggan industri yang menggunakan PLTS Atap yang produksi listriknya berlebih di siang hari tidak dihargai sebagai pengurangan tagihan listrik.
“Menurut hipotesa awal, jika skenario pelanggan industri banyak menggunakan PLTS+baterai ini terjadi, akan terjadi penurunan permintaan listrik ke PLN. Tapi ini baru hipotesa ya” tegasnya. AESI melihat tiga sampai empat tahun ke depan harga baterai Lithium Iron Phosphate Battery (LiFePO4) untuk penyimpanan energi sudah bertambah murah dan sudah bisa menjangkau pasar umum yang lebih luas. AESI memperkirakan Revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang PLTS Atap bisa menstimulasi pasar Battery Energy Storage System (BESS) skala kecil dan menengah di Indonesia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto