KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Sejumlah konglomerat berlomba-lomba masuk bisnis energi baru terbarukan (EBT), beberapa di antaranya langsung menjajaki sejumlah pembangkit, ada juga yang memulainya dengan membangun pabrik panel surya.
Misalnya saja, Sinarmas yang memulai penjajakan bisnis EBT-nya melalui PT Daya Sukses Makmur Selaras, entitas anak tidak langsung dari PT Dian Swastatika Sentosa Tbk dan PT Agra Surya Energi yang menggandeng Trina Solar untuk mengembangkan pabrik manufaktur sel surya dan modul surya terintegrasi pertama di Indonesia. Di bawah naungan PT Trina Mas Agra Indonesia, akan dibangun pabrik berkapasitas 1 gigawatt peak per tahun pada tahap awal dengan nilai investasi lebih dari US$ 100 juta. Fasilitas yang dibangun di Kawasan Ekonomi Khusus Kendal, Jawa Tengah ini akan menggunakan teknologi i-TOPCon cell.
Kemudian, ada juga PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) yang saat ini semakin masif menjajaki pembangkit EBT. Mulai dari panas bumi (PLTP), angin (PLTB), hingga surya (PLTS).
Baca Juga: Pasokan Bahan Baku Jadi Tantangan Terbesar Pengembangan Usaha Biomassa Perusahaan milik konglomerat lain yang juga makin agresif menjajaki bisnis EBT ialah PT Adaro Energy Tbk (ADRO) menggarap PLTS dan PLTA, kemudian PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) menggali bisnis PLTS Terapung.
Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna menjelaskan, setidaknya ada dua faktor yang membuat pengusaha besar masuk ke bisnis EBT.
Pertama, transisi hijau memacu pelaku usaha untuk mengidentifikasi peluang baru termasuk dorongan permintaan produk yang lebih ramah lingkungan dari konsumen produk.
Kedua, karena pengaruh berbagai tekanan dari investor dan perbankan yang menuntut kejelasan rencana transisi ke depan. “Prospek di Indonesia mulai terbangun, namun kesempatan yang ada masih relatif terbatas utamanya karena keterkaitan erat antara sektor kelistrikan dan sulitnya posisi PLN untuk membuka kesempatan proyek energi terbarukan dalam skala besar,” ujarnya kepada
Kontan.co.id, Jumat (1/12).
Di tahun depan, lanjut Putra, komitmen dari pemerintah, PLN, dan pelaku usaha terlihat semakin jelas meski tantangan dalam inflasi dan tingkat suku bunga akan berpengaruh pada pengembangan EBT.
Namun dengan dorongan dari investor dan perbankan yang terus menguat, besar kemungkinan pengusaha akan terus mencari peluang baru di sektor ini.
Baca Juga: Antam Akan Tinggalkan Pembangkit Listrik Batubara “Pengusaha yang banyak berkaitan dengan pendana internasional dan pasar tujuan ekspor kemungkinan besar akan bergerak lebih cepat karena kompetisi yang semakin ketat,” jelasnya.
Sebelumnya Board of Director International Geothermal Association (IGA), Surya Darma menilai keikutsertaan beberapa perusahaan besar dalam industri panas bumi akan memberikan dampak yang sangat baik.
Saat ini dalam masa transisi energi menuju Net Zero Emission (NZE), panas bumi bisa menjadi tulang panggung menjaga ketahanan energi dalam pelaksanaan transisi energi.
“Jika keikutsertaan Pertamina tentu sudah tidak diragukan lagi, karena Pertamina memang menjadi pionir pengembangan panas bumi di Indonesia,” ujarnya kepada
Kontan.co.id belum lama ini.
Sementara itu, ikut sertanya perusahaan yang berbasis kelapa sawit seperti Astra Group tentu saja menjadi pertanyaan karena usaha panas bumi yang sangat berbeda dengan bisnis perkebunan maupun otomotif.
Namun, keikutsertaan kedua korporasi besar itu bisa menjadi magnet bagi perusahaan lainnya.
“Bisnis panas bumi sangat beresiko dibandingkan agro industri maupun otomotif. Tetapi perlu disambut gembira agar di masa depan pengembangan panas bumi akan semakin intensif,” tandasnya.
Di sektor lain yakni PLTS, Direktur Eksekutif IESR yang juga Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa menyatakan pemanfaatan energi surya di Indonesia dapat tumbuh dengan sejumlah pertimbangan.
Pertama, PLTS adalah fenomena global dan merupakan pilihan utama bagi negara dan bisnis untuk melakukan dekarbonisasi. "Dalam 5 tahun terakhir kapasitas PLTS secara global tumbuh pesat, di luar perkiraan pada analis dan perencana energi," ujar Fabby.
Kedua, sambung Fabby, PLTS merupakan pilihan teknologi yang paling rasional bagi Indonesia untuk mencapai dekarbonisasi di 2060 atau lebih awal. Hal ini didukung ketersediaan sumber daya yang mencapai 3300 GW, sifatnya yang modular dan cepat dipasang, dan harganya yang semakin terjangkau.
Baca Juga: Kementerian ESDM Kejar Target Penyelesaian Undang-Undang EBET Melihat potensi ini, sejumlah perusahaan besar, baik itu lokal hingga internasional semakin serius menggarap bisnis PLTS di Indonesia.
Belum lama ini juga, Direktur Utama MEDC, Hilmi Panigoro menerangkan alasannya semakin agresif menjajaki bisnis pembangkit EBT. Menurutnya biaya operasional pemanfaatan energi hijau relatif tidak lebih mahal dibandingkan energi fosil.
Berdasarkan hitung-hitungannya, investasi atau belanja modal yang disiapkan di awal memang terlihat besar, tetapi secara jangka panjang sumber energi yang dimanfaatkan berkelanjutan akan lebih efisien. Dia mencontohkan, investasi turbin angin memang besar, tetapi angin sebagai sumber energi didapatkan gratis.
“Jadi mungkin capex tinggi dulu setelah beberapa tahun akan turun jauh sekali dan dalam jangka panjang bisa berjalan,” terangnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .