KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih tertahan di zona merah. IHSG kembali ambles 0,49% ke posisi 6.733,52 hingga akhir perdagangan sesi I Rabu (8/3), atau terjun sudah 1,71% sejak awal tahun 2023. Sederet saham berkapitalisasi pasar besar bergerak negatif dan menjadi pemberat indeks (laggard). Saham bank dan batubara mendominasi, contohnya ada
BYAN,
ADRO,
BBRI, dan
BBCA. Ada juga ASII dan
BRPT yang menjadi laggard di bulan ini. Pengamat Pasar Modal William Hartanto menyoroti bahwa mayoritas saham laggard telah mengalami penguatan pada akhir tahun 2022 dan awal 2023. Gerak saham yang saat ini berbalik merosot tak lepas dari aksi
profit taking. Menurut William, penurunan harga saham bluechips tersebut masih terbilang wajar. Apalagi di tengah pasar saham yang sedang terjal.
Baca Juga: IHSG Melemah 0,49% ke 6.733 di Sesi I Rabu (8/3), MDKA, INCO, HRUM Top Losers LQ45 "Hanya saja kebetulan karena bobotnya besar, sehingga terkesan seperti membebani IHSG," kata William kepada Kontan.co.id, Selasa (7/3). Rilis kinerja tahun 2022 yang cemerlang pun belum memberikan dorongan signifikan. William menduga lonjakan
top line dan
bottom line mayoritas emiten bluechips sesuai ekspektasi pasar, sehingga harga sahamnya sudah terlebih dulu ter-
priced in. Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas, Martha Christina, melihat saham-saham bluechip menjadi laggard terseret prospek sektoral. Misalnya saja saham batubara yang meredup, seiring dengan harga komoditasnya sudah anjlok lebih dari 50% secara
year to date. Dus, meski kinerja tahun 2022 tumbuh hingga di level triple digit, tapi akan sulit untuk bertahan di tahun ini. Begitu juga dengan emiten perbankan, yang mana ekspektasi pertumbuhan kredit tahun ini lebih rendah dari tahun lalu. Hasilnya, pelaku pasar cenderung merealisasikan keuntungan di saham bank. Head of Retail Research Sinarmas Sekuritas Ike Widiawati menambahkan, pelaku pasar juga masih wait and see mencermati efek kenaikan suku bunga dan kebijakan berikutnya dari The Fed. "Namun prospek sektor bank masih bagus di tahun ini, outlooknya masih lebih stabil dibanding saham sektor batubara," imbuh Ike. Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas turut melihat saham bank akan kembali menjadi penggerak IHSG. Sebaliknya, saham batubara akan lebih bergerak ke arah sideways. "Jangka pendek bisa volatile turun, inline dengan harga batubara. Tapi tidak menutup peluang nanti jadi penggerak di tengah momentum pembagian dividen menjelang cumdate," ungkap Sukarno. Dengan adanya peluang berbalik menguat, sejumlah saham laggard memiliki prospek cerah untuk dikoleksi di harga rendah. Martha sepakat, pembagian dividen bisa jadi momentum pembalikan arah.
Baca Juga: Jangan Buru-Buru Masuk Meski Harga Murah Namun, sentimen tersebut ditaksir hanya sementara. Pelaku pasar mencermati momentum berikutnya, yakni kinerja kuartal pertama 2023 yang mulai rilis setelah Lebaran. Menimbang dua momentum tersebut, Martha melihat saat ini cukup tepat untuk
buy on weakness saham perbankan bigcaps. Sedangkan bagi yang sudah punya, Ike menyarankan hold saham bank. Saham-saham dengan prospek bisnis apik seperti
ESSA,
BRPT, dan
TPIA juga masih layak untuk
hold. Sementara itu, William lebih menekankan faktor teknikal sebagai unsur penting untuk menilai momentum. "Secara teknikal, pelemahan saham-saham tersebut harus diakhiri dengan tren konsolidasi, baru di situ pembelian bisa mulai dilakukan karena kondisi jenuh jual sudah tercapai," terang William.
William merekomendasikan saham
ADRO dengan support Rp 2.770 dan resistance Rp 3.130,
BBCA support Rp 8.250 dan resistance Rp 8.775, serta
ESSA support Rp 955 dan support Rp 1.070. Sukarno ikut menyarankan
buy on weakness atau
hold saham
ADRO dan
BBCA. Analis Kanaka Hita Solvera Raditya Krisna Pradana juga menjagokan kedua saham tersebut.
BBCA dan
ADRO dinilai masih punya potensi
rebound. Rekomendasinya
buy on weakness dengan target harga Rp 9.000 untuk
BBCA dan Rp 3.000 sebagai target harga
ADRO. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi