Sejumlah sektor industri manufaktur masih impor bahan baku, level TKDN beragam



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah sedang menggenjot sertifikasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) guna meningkatkan daya saing produk nasional. Namun. sejumlah sektor industri manufaktur mencatatkan level TKDN yang cukup beragam.

Ketua Umum Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) Jamaluddin mengatakan, industri alat berat memiliki rata-rata TKDN di kisaran 40%, tergantung modal alat berat itu sendiri. Misalnya, angka TKDN sekitar 40% tersebut dimiliki oleh produk hydraulic excavator.

Hydraulic excavator memang mendominasi peredaran produk alat berat di Indonesia. Berdasarkan data Hinabi per kuartal I-2021, produksi alat berat dalam negeri mencapai 1.417 unit. Adapun produksi hydraulic excavator mencapai 1.331 unit pada kuartal pertama lalu.


Jamaluddin mengaku, masih banyak komponen pembuatan produk alat berat yang sulit ditemukan di Indonesia sehingga masih harus diimpor dari luar negeri. “Mesin dan komponen hidraulik masih diimpor. Ada juga bagian-bagian yang menggunakan material khusus yang belum ada di Indonesia,” ujar dia, Senin (21/6).

Baca Juga: Belanja pemerintah capai Rp 607 triliun, Kemenperin upayakan penyerapan produk lokal

Dengan kondisi seperti itu, lanjut Jamaluddin, pengadaan material lokal masih menjadi tantangan bagi para produsen alat berat dalam negeri. Sayangnya, impor material atau komponen alat berat pun sempat terganggu lantaran adanya gangguan pasokan global dan kelangkaan kontainer akibat efek pandemi Covid-19.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Perusahaan Pendingin Refrigerasi Indonesia (Perprindo) Andy Arif Widjaja mengemukakan, rata-rata TKDN di industri pendingin berada di kisaran 40%--60%. Artinya, belum semua bahan baku produk pendingin seperti AC dan kulkas tersedia di Indonesia, sehingga harus diimpor dari negara lain.

“Tantangan pelaku industri dalam memenuhi TKDN adalah keterbatasan supplier bahan baku produk pendingin di Indonesia,” ungkap dia, Senin (21/6).

Ia menyebut, masing-masing merek produk pendingin memiliki spesifikasi yang berbeda-beda. Belum tentu pula para penyuplai bahan baku dari Indonesia bisa memenuhi persyaratan spesifikasi dari produsen produk pendingin tersebut. Tak ayal, opsi impor mau tidak mau harus diambil supaya pelaku usaha produk pendingin di Indonesia bisa memenuhi kebutuhan produksinya.

Beda cerita dengan industri keramik. Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto memaparkan, industri keramik nasional memiliki rata-rata TKDN di atas 85%. Bahkan, beberapa produsen keramik Indonesia mampu mencatatkan TKDN hingga 95%.

Ia pun mengaku, belum ada kendala bagi industri keramik untuk mengurus sertifikasi TKDN, termasuk menghasilkan produk dengan bahan baku yang didominasi dari dalam negeri. “Saat ini sebagian besar anggota Asaki dalam proses sertifikasi TKDN tersebut,” imbuh dia, hari ini (21/6).

Baca Juga: Sertifikasi TKDN meningkat, Dirut Sucofindo Bachder Djohan terus kawal prosesnya

Terlepas dari itu, Asaki mengaku bahwa para pelaku usaha keramik masih harus menghadapi tantangan berupa efek pandemi Covid-19 dan gangguan impor. Angka impor keramik pun naik hingga 24% di periode Januari-Mei 2021 yang mana impor produk keramik asal China melonjak hampir 50%.

Dengan demikian, Asaki meminta perhatian khusus pemerintah untuk menyelamatkan industri keramik nasional dengan perpanjangan safeguard keramik berupa bea masuk tindakan pengamanan (BMPT) di atas 30%.

Selanjutnya: Dorong program jargas dan TKDN, PGAS Solution hadirkan pabrik pipa polythylene

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari