KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Perindustrian saat ini sedang mengajukan perluasan implementasi gas murah kepada 13 sektor industri di luar Perpres 40 Tahun 2016. Ke 13 sektor industri tersebut adalah industri ban, makanan dan minuman, pulp dan kertas, logam, permesinan, otomotif, karet remah, refraktori, elektronika, plastik fleksibel, farmasi, semen, dan asam amino. Dalam catatan Kementerian Perindustrian, dari 13 sektor industri tersebut membutuhkan alokasi volume gas hingga 169,64 BBTUD. Permintaan gas paling besar dari industri pulp dan kertas hingga 79,58 BBTUD, kemudian industri ban sebesar 30,34 BBTUD, dan industri makanan minuman sebanyak 22,23 BBTUD.
Sebelumnya, Widodo Santoso, Ketua Asosiasi Semen Indonesia mengatakan, kebutuhan harga gas murah khususnya dibutuhkan produk semen putih. Menurutnya, saat ini harga gas yang digunakan pelaku usaha masih tinggi sehingga harga jualnya tidak kompetitif di pasar luar negeri. "Selain ekspor, semen putih ini juga untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur dan perumahan di seluruh Indonesia," ujarnya dalam webinar Indonesian Gas Society, Kamis (24/6).
Baca Juga: Ada insentif harga gas untuk industri, Kemenperin: Bakal ada investasi Rp 191 triliun Asosiasi Semen Indonesia berjanji jika diberikan harga gas industri US$ 6/mmbtu, akan meningkatkan utilisasi dan investasi di dalam negeri. Urgensi harga gas murah juga dirasakan oleh sektor industri lain yakni dari industri plastik fleksibel (lembaran). Dalam catatan Kemenperin, ada 6 perusahaan plastik felskibel yang meminta gas murah dengan volume gas sebesar 3,44 BBTUD. Fajar Budiono, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (?INAPLAS) mengatakan, industri plastik fleksibel (lembaran) juga sebagai sektor pendukung dalam proses produksi kemasan. "Insentif gas dibutuhkan karena industri kemasan fleksibel merupakan sektor pendukung produksi, dalam hal ini memasok bahan baku. Jika bahan baku lebih murah, tentu nantinya kemasan fleksibel di hilir akan lebih kompetitif dibandingkan produk impor. Selain itu juga bisa meningkatkan ekspor karena sekitar 20%-30% dari total kapasitas nasional kemasan fleksibel untuk pasar luar negeri," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (25/6). Mengenai aktivitas ekspor, selama pandemi kinerja ekspor industri kemasan fleksibel turun dari yang sebelumnya mampu menjual 80.000 ton hingga 100.000 ton pertahun, menjadi 60.000 ton/tahun saat pandemi. Harapannya dengan insentif gas, kinerja ekspor bisa kembali normal. Selain itu, industri kemasan fleksibel juga berencana meningkatkan kapasitas produksi untuk memenuhi permintaan kemasan di industri lainnya seperti makanan minuman yang saat ini rata-rata utilisasi produksinya lebih dari 100%. Fajar mengakui, dari 6 perusahaan kemasan fleksibel yang meminta harga gas murah, sudah 4 perusahaan di antaranya berkomitmen melakukan investasi tambahan untuk menambah kapasitas pabrik dan membeli mesin lebih canggih. "Untuk nominalnya belum bisa dirinci. Sebagai gambaran ada pabrik yang akan meregenerasi mesin sehingga bisa lebih hemat energi dan output lebih banyak. Selain itu, ada juga untuk ekspansi penambahan produksi menggunakan mesin yang lebih advance," ungkapnya.
Fajar menyebut, satu mesin harganya berkisar Rp 50 miliar. Tentu nanti tergantung dari perusahaan tersebut akan menambah berapa mesin. Dengan tambahan mesin baru, selain meningkatkan kapasitas pabrik juga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak. Fajar memaparkan, pabrik yang sebelumnya hanya berjalan 2 shift saja, dengan penambahan mesin akan menjadi 3 shift. Otomatis membutuhkan tenaga kerja tambahan. Fajar menegaskan, dengan diberikan insentif gas, industri kemasan fleksibel akan lebih leluasa penetrasi bisnis ke pasar lokal maupun ekspor karena harga jual yang lebih kompetitif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat