KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sedang menghadapi sejumlah tantangan dalam industri gas domestik, terutama terkait pasokan gas dan perpanjangan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT). Direktur Utama Perusahaan Gas Negara, Arief Setiawan Handoko, mengungkapkan adanya ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan gas, yang dipicu oleh penurunan pasokan dari Blok Corridor, salah satu sumber utama gas yang dikelola Grup Medco. Menurut alokasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pasokan gas dari Blok Corridor akan berkurang secara bertahap, dari 410
Billion British Thermal Unit per day (BBTUD) pada 2023 menjadi 129 BBTUD pada 2028.
Baca Juga: Jurus PGN (PGAS) Jaga Kinerja Hadapi Tantangan Pasokan & Perpanjangan HGBT Meskipun demikian, Arief menegaskan bahwa secara keseluruhan, pasokan gas dari Indonesia masih mencukupi dan bahkan surplus di beberapa wilayah. Untuk mengatasi tantangan ini, emiten dengan kode saham
PGAS di BEI ini telah menyusun tiga strategi utama.
PGAS Chart by TradingView Pertama, memperpanjang kontrak pasokan gas pipa yang ada dan mencari pasokan baru dari beberapa blok, seperti Jabung, West Natuna, dan South Sumatera. Kedua, memanfaatkan kontrak pasokan gas dari Jawa Timur untuk didistribusikan ke Jawa Barat melalui proyek pipa Cirebon-Semarang fase II, yang diproyeksikan beroperasi pada akhir 2025 atau awal 2026. Ketiga, PGAS juga menyiapkan pasokan gas alam cair (LNG) untuk mengatasi kekurangan dari gas pipa, dengan potensi pasokan berasal dari kilang LNG Bontang, Tangguh, hingga Donggi-Senoro.
Baca Juga: Harga Saham LQ45 Ini Hanya Rp 50, Analis Rekomendasi Beli dengan Target Harga Rp 80 Direktur Komersial Perusahaan Gas Negara, Ratih Esti Prihatini, menjelaskan bahwa pada paruh pertama 2024, pasokan gas PGAS masih sangat bergantung pada gas pipa, dengan porsi 99,6%, sementara LNG hanya menyumbang 0,4%. Volume penjualan gas PGAS turun 9% secara tahunan menjadi 841 BBTUD, akibat penurunan pasokan dari Sumatera dan Jawa serta dampak libur Lebaran pada kuartal II-2024. Dari sisi konsumsi, sektor pembangkit listrik menjadi konsumen terbesar gas PGAS (31,6%), disusul oleh sektor kimia (16%), makanan (8,7%), pupuk (8,5%), keramik (8,2%), dan sektor lainnya (26,9%). Sementara itu, segmen transmisi gas PGAS mengalami peningkatan 4% menjadi 1.479 Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD).
Baca Juga: PGN (PGAS) Garap Proyek Strategis: Pipa Gas, LNG, Biometana hingga Jargas Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PGAS, Rosa Permata Sari, optimis bahwa pasokan gas dalam negeri akan tetap terjaga. Dalam tiga tahun ke depan, potensi pasokan gas berasal dari blok di sekitar Sumatera dan Jawa, dengan estimasi 50-60 BBTUD.
Tantangan Perpanjangan Kebijakan HGBT
Selain tantangan pasokan, PGN juga menghadapi tantangan dalam perpanjangan kebijakan HGBT, yang menetapkan harga gas untuk industri tertentu sebesar US$ 6 per
Million British Thermal Unit (MMBTU). Sebagai sub-holding gas Grup Pertamina, PGN mendukung kebijakan ini dan menyiapkan beberapa langkah untuk mengatasi dampaknya terhadap kinerja keuangan. Strategi yang disiapkan antara lain optimalisasi biaya operasional melalui efisiensi, ekspansi pasar ke wilayah baru seperti Kawasan Industri Terpadu Batang, Kendal, dan Ibu Kota Nusantara (IKN), serta alokasi biaya untuk investasi strategis. Ratih menekankan pentingnya inovasi, diversifikasi, dan adaptasi cepat untuk menjaga prospek positif perusahaan.
Baca Juga: PGN Pasok Gas Bumi 9,49 BBTUD ke Smelter Freeport Indonesia Direktur Keuangan Perusahaan Gas Negara, Fadjar Harianto Widodo, menambahkan bahwa PGAS akan terus menjaga marjin distribusi pada rentang US$ 1,6 - US$ 1,8 per MMBTU. PGAS berupaya mengoptimalkan pengelolaan pasokan gas, baik dari gas pipa maupun LNG, agar harga jual tetap sesuai dengan kemampuan pelanggan. Saham PGAS ditutup pada level Rp 1.495 pada perdagangan Selasa (17/9), sama dengan penutupan perdagangan sebelumnya. Analis MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, melihat pergerakan harga saham PGAS masih cenderung menurun, namun memberikan peluang untuk
speculative buy dengan target harga antara Rp 1.525 hingga Rp 1.560 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli