sekjen PAN: Panama Papers momentum tax amnesty



JAKARTA. Munculnya dokumen Panama Papers yang memuat simpanan pebisnis dan politisi Indonesia di luar negeri, terutama di negara surga pajak (tax haven) dapat menimbulkan polemik baru tentang perlu tidaknya kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty dilanjutkan. Sebab data Panama Papers bisa digunakan untuk menegakkan hukum, apalagi sekarang adalah tahun penegakan hukum di sektor perpajakan.

Dalam rapat Badan Musyarakat DPR RI Rabu (7/4), fraksi-fraksi sepakat untuk berkonsultasi lagi dengan presiden Joko Widodo. Konsultasi ini ingin memastikan keinginan pemerintah dan membahas poin penting RUU Pengampunan Pajak yang diinginkan pemerintah. Sebelumnya (6/4), presiden Joko Widodo menginginkan RUU Pengampunan Pajak mewajibkan dana yang disimpan di luar negeri dibawa balik ke Indonesia. 

Namun bagi Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno, bocornya data Panama Papers menjadi kesempatan baik Indonesia untuk menuntaskan Undang-Undang (UU) Tax Amnesty atau UU Pengampunan Pajak. Pria yang pernah bekerja sebagai investment banker di sejumlah bank kelas dunia itu menilai, momentum Panama Papers menjadi kesempatan pemerintah untuk mendorong para wajib pajak memanfaatkan tax amnesty. 


Data Panama Papers membuka sebagian data wajib pajak dan teridentifikasi melakukan kegiatan usaha menggunakan special purpose vehicle (SPV) asing. Panama Papers dapat mendorong  atau akselerator pelaporan pajak dari wajib pajak indonesia, berhubung identitas sudah terungkap. “Asumsinya dananya juga mengendap di luar negeri, sehingga tinggal dicek kebenarannya,”  kata Eddy, Rabu (6 April 2016). 

Eddy menerangkan bahwa biasanya SPV digunakan untuk memanfaatkan tax treaty atau perjanjian perpajakan antara Indonesia dengan negara-negara asing. Usia SPV bisa bertahun-tahun dan tidak ada masa kedaluwarsa. Eddy mengetahui hal tersebut karena pernah bekerja sekitar 20 tahun di sejumlah bank dan perusahaan keuangan dunia. Misalnya di Jardine Fleming & Co Ltd, American Express, Credit Lyonnais, ABN Amro, HSBC, dan Merrill Lynch. Karena profesi tersebut, tak jarang dia bersentuhan dan berhubungan dengan aktivitas transaksi yang melibatkan SPV.

Penggunaan SPV di luar negeri terutama di negara-negara surga pajak (tax haven) memang meringankan dari sisi perpajakan. Namun dia menandaskan bahwa pendirian SPV tidak serta merta ditujukan untuk tujuan penggelapan pajak. “Jika penggunaan SPV dibarengi dengan tax planning, beban pajak bisa berkurang dari 20% menjadi 10% atau bahkan 0%,” terang dia.

Oleh karena itu, dia mengingatkan bahwa Panama Papers sekedar "membuka tabir" atas individu atau perseroan yang melakukan kegiatan usaha dengan menggunakan SPV asing. Data tersebut hanya sebagai data dan temuan awal untuk mendalami kegiatan usaha warga negara atau unit usaha Indonesia yang menggunakan kendaraan usaha di luar negeri. 

Panama Papers tidak membuka informasi substansial terkait jenis usaha, transaksi, dana yang dinikmati atau digunakan untuk transaksi maupun usaha atau pajak yang dielakkan melalui pemakaian SPV tersebut. “Untuk mengetahui hal-hal yang substansial secara mendalam, tentunya membutuhkan putusan pengadilan, apalagi jika hal ini menyangkut informasi perbankan,” tambah Eddy. 

Mengingat momentum yang bagus tersebut, Eddy mendorong RUU Tax Amnesty segera dibahas dan dituntaskan DPR. Bagaimana pun juga regulasi tax amnesty tetap diperlukan sebagai salah satu solusi penyelesaian data pajak dan kewajiban pajak. 

Pertimbangannya Panama Papers hanya memberikan gambaran umum dan bukan informasi detail. Selain itu, Panama Papers hanya membeberkan info tentang individu atau perusahaan yang mendirikan usahanya di Panama melalui Mossack Fonseca. 

Sementara dia  berkeyakinan masih ada ratusan bahkan ribuan perusahaan serupa di yurisdiksi tax haven lain yang belum diidentifikasi. “Kehadiran UU Tax Amnesty menjadi berharga untuk menjadi jalan tengah dan solusi atas temuan data Panama Papers maupun data-data lain yang ada di luar negeri. Tax amnesty memberi kepastian hukum bagi wajib pajak,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Umar Idris