Sekolah dan sawah



Beberapa hari terakhir menjadi hari paling menegangkan bagi para orang tua siswa, terutama yang anaknya masuk sekolah baru. Zonasi sekolah menjadi isu paling seru diperbincangkan.

Banyak orang tua murid mengungkapkan kemarahan dan kekecewaannya pada sistem penerimaan siswa baru kali ini. Putra atau putri mereka yang selama bertahun-tahun telah berjuang dan belajar keras demi bisa diterima di sekolah lanjutan favorit, kini "dikalahkan" oleh siswa-siswa lain yang diuntungkan oleh kedekatan jarak rumah mereka dengan sekolah.

Peraturan Menteri Pendidikan No. 14 Tahun 2018 mengharuskan sekolah negeri yang dikelola pemerintah daerah menerapkan sistem zonasi dalam menerima siswa mereka. Pasal 16 ketentuan itu mewajibkan SMP dan SMA menyediakan 90% kapasitas siswa baru mereka bagi calon siswa yang berasal dari zona terdekat sekolah. Hanya 5% kursi boleh menampung siswa yang masuk lewat jalur prestasi di luar zona terdekat dan 5% lagi tersedia untuk siswa di luar zona dengan alasan khusus.


Kontroversi zonasi dalam aturan baru ini semakin mencuat manakala belakangan muncul kabar bahwa calon siswa yang orang tuanya bisa menunjukkan Surat Keterangan tidak Mampu (SKTM) harus diprioritaskan diterima di zonanya. Polemik semakin memuncak ketika akhirnya para orang tua, mampu atau miskin, beramai-ramai melampirkan SKTM.

Konon tujuan sistem zonasi sendiri adalah memeratakan kualitas pendidikan. Calon siswa berprestasi didistribusikan ke sekolah-sekolah secara merata, sehingga kelak lulusan-lulusan terbaik tidak hanya mengumpul pada sekolah-sekolah negeri yang selama ini menjadi unggulan. Sekolah-sekolah lapis kedua dan ketiga yang sebelum ini hanya mendapat "sisa-sisa" calon siswa yang tidak diterima di sekolah favorit, kini berkesempatan menghasilkan lulusan-lulusan terbaik pula.

Apakah tepat sistem zonasi diterapkan untuk mencapai tujuan itu?

Jika tujuannya memeratakan distribusi bibit-bibit unggul, pasti hasil sukses seketika bisa dilihat sebentar lagi. Namun, jika sistem ini bertujuan memeratakan kualitas pendidikan antarsekolah, hasilnya baru akan terungkap tiga tahun lagi.

Bicara soal bibit unggul dan hasil, para petani terbiasa mengolah sawah dan kebun, serta mengelola bibit unggul untuk menghasilkan panen yang sukses. Bukan rahasia lagi bahwa benih yang baik memang menjadi kunci keberhasilan panen. Tapi, mereka petani, bukan guru.•

Hasbi Maulana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi