Sekolah di Purwakarta dilarang beri PR akademis



BANDUNG. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi resmi memberlakukan pelarangan pemberian pekerjaan rumah (PR) akademis untuk tingkat SD-SMA di daerahnya.

Larangan pemberian PR akademis tertuang dalam Surat Edaran Bupati Purwakarta No 421.7/2014/Disdikpora. Surat yang diteken 1 September 2016 ini langsung disosialisasikan ke guru dan kepala sekolah. "Hari ini saya kumpulkan guru dan kepala sekolah. Hari ini, larangan tersebut resmi diberlakukan," ujarnya saat dihubungi Senin (5/9).

Di hadapan ratusan guru, Dedi menjelaskan, pekerjaan rumah yang harusnya diberikan pada siswa adalah PR yang aplikatif, misalnya kegiatan beternak yang diterjemahkan dalam kerangka pendidikan akademis. "Contohnya pelajaran Bahasa Indonesia, bisa memberikan tugas membuat cerpen tentang sang gembala. Mulai dari pengalaman, hingga penghayatannya," ucapnya.


Begitu pun dengan pelajaran Biologi maupun Kimia. Siswa bisa diminta membuat kompos atau pupuk organik dari kotoran domba. "Dengan cara ini, siswa langsung mempraktekkan teori yang diberikan di sekolah," ucapnya.

Untuk mata pelajaran Matematika, di rumah siswa bisa menghitung berapa ukuran kandang domba yang dibutuhkan. Selain itu, siswa akan mencari atap paling cocok sehingga menghasilkan suhu udara seperti apa.

"Di kami ini aneh. Belajar Fisika, Matematika, Kimia, tapi ruangan pengap," ucapnya. Seharusnya, bisa dihitung, satu kelas yang berisi 32 orang membutuhkan berapa banyak oksigen. Untuk mendapatkan itu, maka berapa jumlah jendela yang dibutuhkan.

Tak hanya itu, agar sirkulasi lancar, maka di luar jendela harus ditanami tanaman. Begitu pun jika sekolah jelek, siswa bisa menghitungnya dengan membawanya ke laboratorium, misalnya siswa mengambil sampel tembok yang buruk.

Di laboratorium, akan diketahui kadar apa yang kurang, contohnya semen. Dengan penemuan ini siswa bisa menyimpulkan pembuatan kelas koruptif. "Ketika si anak jadi Menteri PU, dia harus bisa menghitung itu. Pemberian tugas aplikatif itupun secara tidak langsung mengajarkan antikorupsi," ucapnya.

Tugas aplikatif ini juga mampu menjawab isu yang tengah beredarnya, seperti kasus antraks. Anak-anak jurusan Biologi seharusnya diturunkan ke kampung untuk mengetahui penyebabnya.

Setelah mengecek ke lapangan dan mendapat teori di sekolah, anak bisa membuat jurnal maupun hal-hal kreatif untuk memerangi antraks. "Anak nantinya akan pintar membangun opini. Dia akan kritis," imbuhnya.

Selama ini, PR akademis yang diberikan pada siswa serupa dengan materi akademis di sekolah. (Reni Susanti)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini