KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sederet aral masih melilit industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional. Situasi ini menekan kinerja keuangan maupun pergerakan saham mayoritas emiten yang bergelut di bisnis tekstil. Sepanjang sembilan bulan 2023, tak banyak emiten tekstil yang mampu menumbuhkan kinerja. Grup Trisula, yakni PT Trisula International Tbk (TRIS) dan PT Trisula Textile Industries Tbk (BELL) menjadi contoh yang masih dapat merajut hasil positif. Sedangkan sejumlah emiten tekstil mengalami penyusutan
top line dan
bottom line. Tengok saja PT Indo-Rama Synthetics Tbk (INDR) yang pendapatannya merosot 20,87% secara tahunan menjadi US$ 598,61 juta. Emiten milik taipan Sri Prakash Lohia ini berbalik menanggung rugi bersih senilai US$ 32,48 juta.
Kompak dengan PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) yang juga mengalami penurunan pendapatan dan berbalik menderita kerugian. Nasib PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) tak lebih baik. Meski berhasil memangkas rugi bersih 22%, tapi jumlah kerugian SRIL masih jumbo senilai US$ 115,20 juta.
Baca Juga: Jhonlin Agro Raya (JARR) Mau Merger dengan JAL, Intip Rekomendasi Sahamnya Penjualan emiten tekstil yang lebih dikenal dengan nama Sritex ini juga terpangkas 47,6% menjadi US$ 248,50 juta. Tak hanya itu, saham SRIL juga masih diambang potensi delisting usai mengalami suspensi selama 30 bulan. SRIL tak sendiri, sederet saham emiten tekstil juga tidak bergerak, terjerat suspensi atau mendekam di papan pemantauan khusus. Seperti dialami PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX), PT Tifico Fiber Indonesia Tbk (TFCO), PT Century Textile Indsutry Tbk (CNTX), PT Sunson Textile Manufacture Tbk (SSTM), PT Ever Shine Tex Tbk (ESTI), dan PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBAT). Secara bisnis, prospek industri TPT juga masih kusut. Seperti yang diungkapkan Direktur Keuangan dan Sekretaris Perusahaan Sritex Welly Salam bahwa industri TPT masih menghadapi tantangan yang besar baik di pasar ekspor maupun di pasar dalam negeri. Dari pasar ekspor, panasnya dinamika geopolitik turut berimbas pada menyusutnya permintaan dari luar negeri. Sementara di dalam negeri, gempuran dari produk-produk impor TPT ilegal menambah tekanan bagi perusahaan tekstil nasional. Beban lainnya datang dari biaya produksi yang masih tinggi.
Baca Juga: Cetak Kinerja Solid Hingga Kuartal III-2023, Cek Rekomendasi Saham XL Axiata (EXCL) "Antara lain karena ketergantungan yang tinggi atas impor kapas dan juga biaya energi yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara produsen TPT di Vietnam dan Bangladesh. Terlebih dengan penurunan utilisasi menyebabkan biaya semakin tinggi," kata Welly kepada Kontan.co.id, Selasa (21/11).
Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Vicky Rosalinda menilai industri TPT yang masih kusut merembet ke prospek kinerja dan saham emiten tekstil, sehingga masih sulit untuk kembali pulih. Terlebih jika melihat tumbangnya sejumlah perusahaan tekstil di dalam negeri dan maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari sektor ini.
Editor: Tendi Mahadi