KONTAN.CO.ID - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan, mayoritas kredit bermasalah Bank Pembangunan Daerah (BPD) berasal dari kredit sektor produktif. Kepala Otoritas Jasa Keuangan Regional 4 OJK Sukamto menjelaskan, per Juli 2017
non performing loan (NPL)
gross BPD ada di level 3,54% pada pertengahan 2017. Sementara jika dirinci, NPL sektor produktif BPD sampai dengan bulan Juni 2017 tercatat telah menyentuh angka 9,73%. Secara persentase, jumlah tersebut menyumbang sekitar 81,09% dari total NPL BPD saat ini. "Boleh dikatakan BPD lebih mengandalkan kredit konsumsi sekitar 60%-90%. Jadi ketika menyalurkan kredit ke sektor produktif banyak yang menjadi NPL," kata Sukamto dalam paparannya di Indonesia Banking Expo, Jakarta, Kamis (21/9) pekan lalu.
Menurutnya, masing-masing BPD harus lebih serius dan konsisten dalam penanganan kredit produktif. Belum lagi, laju NPL di bank daerah yang menanjak dipengaruhi ketidakseimbangan penyaluran kredit dan dana pihak ketiga (DPK) masing-masing bank. Gambaran saja, Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang dirilis OJK per Juli 2017 mencatat beberapa sektor kredit BPD yang cenderung tinggi. Kredit sektor pertanian, perkebunan dan perhutanan memiliki NPL sebesar 12,2% meski menurun dari posisi Juli 2016 13,66%. Hal serupa juga terjadi di sektor perikanan yang mencatat NPL 6,19%, menurun dari periode Juli tahun lalu 9,44%. Kendati demikian, sektor yang masih menjadi penyumbang NPL terbesar bagi BPD ada di sektor pertambangan dengan NPL mencapai 23,09%. Jumlah tersebut masih lebih baik ketimbang NPL pertambangan BPD di Juli 2016 yang sempat mencapai level 38,98%. Melihat fenomena tersebut, ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Kresno Sediarsi yang juga direktur utama Bank DKI pun mengakui bahwa kondisi tersebut memang benar terjadi. Kresno menilai, tingginya NPL sektor ini disebabkan oleh belum terbiasanya BPD masuk ke sektor produktif, khususnya untuk kredit menengah ke atas. Atas hal itu, sebagian besar bank daerah pun tengah menyusun strategi untuk memitigasi risiko sektor produktif agar lebih teratasi. Salah satunya yaitu menjalin kerja sama dengan bank Jerman untuk membangun kompetensi pengelolaan kredit produktif. "Kompetensi yang dimaksud antara lain
skill, manajemen, sikap dalam pengelolaan, artinya memberikan kredit harus berdasarkan SOP," ungkapnya di Jakarta, Kamis (21/9). Menurut Kresno, saat ini sedikitnya sudah ada enam BPD yang melakukan edukasi hingga
mentoring terhadap para pegawainya. Rencananya, hal ini akan terus dikerjakan hingga penghujung tahun 2018. "Kami (Asbanda) ingin pertengahan tahun depan pemahaman kredit produktif sudah merata, bisa dilihat nanti kualitas akhir kredit BPD akhir tahun 2018 seberapa besar," tegasnya. Meski begitu, Direktur Utama Bank Sumsel Babel Muhammad Adil mengatakan, khusus di BPD Sumsel Babel laju NPL lebih termitigasi. Hal ini lantaran telah dilakukannya pembenahan sistem penyaluran kredit. "Kami sudah memakai sistem komite, setiap penyaluran kredit harus ada
screening dan berproses memang agak lama, tapi jauh lebih termitigasi," ungkapnya.
Adil tidak menampik bahwa sektor produktif memang menyumbang sebagian besar kredit bermasalah perseroan, terutama segmen UMKM dan kredit infrastruktur. Catatan saja, NPL Bank Sumsel Babel memang cenderung meningkat dari sisi
gross. Berdasarkan laporan kuartal II 2017, NPL Bank Sumsel Babel sudah menyentuh angka 6,11% atau naik dari posisi periode tahun lalu 6,03%. Hanya saja, dari sisi NPL net terjadi penurunan dari 3,52% di Juni 2016 menjadi 3,26% per posisi Juni 2017. Sekadar tambahan informasi, sampai dengan Juli 2017 secara industri BPD masih mencatat pertumbuhan kinerja. Hal ini tercermin dari penyaluran kredit yang tumbuh 8,25% dari Rp 346.31 triiliun menjadi Rp 374,91 triliun. Selain itu, DPK BPD juga naik 10,27% per Juli 2017 menjadi Rp 493,09 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati